Teras EsJe – Baru saja Republik ini merayakan 80 tahun kemerdekaan. Akan tetapi, perayaan yang seharusnya menimbulkan rasa bangga dan haru, hanya bertahan beberapa jam saat lagu Indonesia Raya berkumandang, dan semua mata tertuju pada berkibarnya sang Saka Merah Putih di udara.
Setelahnya, rasa amarah yang menyeruak seakan-akan meletus seperti gunung berapi yang sedang erupsi. Mulanya, Kabupaten Pati menjadi panggung awal bagaimana kecongkakan pejabat publik di Republik ini. Seorang Bupati menantang masyarakatnya sendiri. Dan seperti yang bisa kita tebak, masyarakat Pati datang menerima tantangan itu dengan sukarela dan gagah berani, menghadapi Bupati yang mereka pilih sendiri.
Hasilnya, Bupati itu hanya berani sebentar menampakkan diri dengan sepatah kata permintaan maaf, dengan berbarengan siraman botol air yang mengarah padanya. Setelahnya, terjadi lagi sesuatu yang lucu di Republik ini. Kali ini, giliran DPR yang unjuk gigi, seolah-olah mereka tak mau kalah lucu dari Bupati Pati. Kenaikan tunjangan DPR yang dibarengi dengan joget-joget sebagai bentuk perayaan mereka terhadap tunjangan mereka yang meningkat, malah semacam menjadi minyak tanah yang menambah nyala obor amarah rakyat.
Di saat kondisi ekonomi yang tidak stabil, lowongan pekerjaan yang sulit. Para anggota Dewan seakan-akan tidak peduli dengan nasib rakyat, atau kalimat ini perlu diralat bahwa mereka memang tidak sepenuhnya peduli? Masyarakat pun marah, demonstrasi dari pagi hingga malam hari, berhari-hari rakyat mendatangi senayan, dan sampai saat ini tak ada satu pun dari mereka yang bersimpati dan patriotik datang mendengarkan keluh kesah rakyat yang membayar mereka.
Bagaimana sebenarnya mereka memandang kita sebagai masyarakat biasa? Kenaikan tunjangan yang mereka rayakan dengan berjoget itu, di saat hampir 70% masyarakat berada di bawah batas kemiskinan Internasional (Data dikutip dari World Bank updated global poverty lines Indonesia, 2025). Masyarakat marah, karena harga dirinya telah diinjak-injak secara terang-terangan. Tetapi yang terjadi adalah sebagian besar anggota Dewan menemui rakyat, berdialog terbuka, dengan sopan mereka meminta maaf, dan berupaya untuk membatalkan kenaikan tunjangan yang mereka terima.
Begitu cerdasnya mereka itu, seperti semesta telah mengirim segelintir Ratu Adil yang ditunggu-tunggu itu. Ya, kalimat sebelumnya adalah cerita dongeng, yang ditulis oleh penulis karena mengantuk, mustahil.
Nyatanya, ketika rasa muak masyarakat terhadap mereka berujung terlahirnya gagasan untuk membubarkan DPR, dengan lucu salah seorang dari mereka mengatakan bahwa yang menggagas demikian adalah seorang yang bodoh. Kalimat ini, seperti kelakuan lucu para DPR sebelumnya, malah menambah nyala obor amarah rakyat itu, yang bukannya meredup, tetapi semakin membakar. Dan kelucuan kini itu berganti pada institusi lain, yakni polisi.
Kala itu, kejadian yang tak diharapkan bakal terjadi oleh siapapun itu, menimpa seorang pemuda, pencari nafkah untuk keluarganya, dan kejadian itu seolah-olah mengisyaratkan bahwa institusi penegak hukum yang bernama polisi, tak pernah belajar dari kesalahan sebelum-sebelumnya, atau memang ia tak pernah belajar untuk itu?
Kini, amarah publik bukan lagi seperti nyala obor, tetapi lebih mirip air bah yang datang tak terbendung. Suara mereka tak didengar, kehadiran mereka tak dipedulikan, dan itu terasa sangat menyakitkan. Masyarakat yang datang hanya untuk menyampaikan aspirasi yang menjadi hak konstitusional mereka, diperlakukan tak manusiawi, ditendang, disiram gas air mata, ditangkap tanpa keterangan. Tak ayal, penderitaan itu terasa semakin menyakitkan. Pedih. Benturan yang terjadi, antara demonstrasi dan polisi, menambah catatan lengkap bagaimana kekerasan digunakan untuk mencederai hak asasi.
Dua lembaga negara yang sejatinya memang penting itu, satunya penegak hukum, dan yang satunya ialah perancang undang-undang. Tetapi, yang sulit dimengerti adalah ketika syarat masuknya ialah lulusan SMA itu, bukan berarti di sini penulis mengatakan bahwa lulusan SMA itu bodoh, bukan sama sekali. Tetapi, hal itu berlaku jika mereka bisa membaca sepuluh buku selama sebulan, mereka akan lebih mengerti dan berpikir secara logis.
Di antara lembaga penegak hukum yang lain, polisi merupakan institusi terendah dalam tingkat kepercayaan publik, yakni 65% (Dilansir Tempo, survei dilakukan oleh LSI). DPR sendiri memperoleh tingkat kepercayaan publik dalam angka 69% (Dilansir Kompas, survei dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia). Artinya, sebagian masyarakat kurang percaya dengan mereka. Ini adalah kenyataan, sebab dua lembaga itu memang sangat lucu.
Kemudian, ketika kekacauan semakin menjadi-jadi, Yogyakarta, Solo, Malang hingga Makassar, menjadi bukti bahwa aksi protes telah bercabang. Dan entah apa yang telah dipikirkan oleh para anggota dewan itu, mereka memang lucu seperti biasa. Di saat seharusnya mereka menyiapkan telinga mereka masing-masing dengan seksama, untuk mendengar keluh kesah rakyat, mereka malah WFH (Baca: Work from home), bersembunyi dalam selimut mereka yang hangat, dan tentu meja makan yang penuh akan makanan enak dan mahal. Beberapa lagi malah diketahui pergi ke luar negeri, saat ada gagasan untuk melakukan aksi langsung ke kediaman mereka masing-masing.
Kita mungkin tak akan lupa ketika waktu Pemilu, mereka datang pada kita, seakan-akan merekalah Satrio Piningit itu, Superman, manusia kaya yang suci dan menepati janji bahwa jika mereka dipilih, penderitaan di muka bumi ini akan musnah. Sebagian dari kita mungkin telah percaya, sebagian tidak, maka dari itu, penderitaan yang kita rasakan saat ini, bukanlah sepenuhnya ujian dari Tuhan, melainkan sebagian besar adalah akibat dari betapa lucunya DPR dan polisi di Republik ini. Ironi.(*)