Teras EsJe – Dalam udara yang dingin di langit Eropa, racun arsenik itu merangsek dan menyebar dalam tubuh seorang aktivis yang bernama Munir Said Thalib. Sebelumnya, penulis tidak bisa membayangkan betapa mulianya pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) yang berasal dari Kota Malang itu. Bayangkan, beliau gugur dalam perjalanan ketika akan melanjutkan studi S-2 ke negeri kincir angin, Belanda. Seperti yang dikutip dalam kitab “At Targib wat Tarhib” yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW. Bahwa, seseorang yang gugur saat sedang menuntut ilmu, maka ia akan mendapat derajat yang tinggi di hadapan Tuhan.
Tak hanya itu, barangkali Munir menjadi seseorang yang pantas disandangkan sebagai seseorang yang bisa dikatakan sosok yang mulia, karena kemurahan hatinya, kerelaannya misalnya ketika menjadi Direktur YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan juga salah seorang pendiri KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Ya, jika tidak berlebihan, mungkin Munir adalah simbol bagaimana kita dapat memahami HAM di negeri ini. Bayangkan, seorang aktivis pejuang HAM, direnggut hak asasinya. Bahkan sampai saat ini, hal itu masih menjadi misteri. Kemudian, 21 tahun setelah gugurnya pejuang HAM itu, agaknya HAM masih menjadi barang yang mewah, sesuatu yang tak begitu diperhatikan di negara ini. Kita bisa melihat itu dalam demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan pada bulan Agustus lalu.
Mengutip dari laporan Human Rights Watch, terdapat tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap para demonstran, dalam terjadinya aksi yang menyebar dalam berbagai wilayah. Jika kita mengacu pada buku yang berjudul “Hukum dan Hak Asasi Manusia” terbitan PUSHAM UII, maka definisi pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Maka, dalam pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pihak yang bertanggung jawab dalam terjadinya pelanggaran HAM adalah negara (state responsibility). Apalagi terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum dituntaskan dan masih menimbulkan pertanyaan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan juga keadilan, maka sepatutnya HAM menjadi instrumen yang dirawat, untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam berekspresi, bersuara, maupun berpendapat.
Sebab, hal demikian telah diatur dalam munculnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta diperkuat dengan keberadaan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, dimana materi mengenai hak asasi manusia telah dimuat secara khusus dalam Bab X Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J yang berupa hasil Amandemen Kedua Tahun 2000. Hal ini merupakan wujud dari kebutuhan masyarakat di tengah krisis pemenuhan hak asasi manusia yang terkhusus berupa memerlukan peraturan perundang-undangan yang sistematis.
Apalagi ditambah dengan kemunculan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Maka, hal ini merupakan indikasi bahwa HAM telah mulai mendapat perhatian. Akan tetapi, walau telah memiliki legal standing, dalam realitanya, tak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran hak asasi manusia masih sering terjadi.
Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya tindakan dari pemerintah yang melakukan itu untuk bertujuan menghindari kritik, protes, dan berbagai sikap politik yang berbeda. Demonstrasi yang seketika berubah menjadi kerusuhan dan ajang penjarahan pada bulan Agustus kemarin, membuktikan bahwa argumen dalam tulisan ini cukup relevan. Tentu saja jika hal ini tidak mendapat ruang perhatian publik, akan berujung fatal bagi kedaulatan demokrasi di negara ini.
Seperti yang dijelaskan oleh Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”, menyebutkan bahwa terdapat tiga konsepsi dasar penyelenggaraan negara yang terlahir dari rahim yang sama, yakni perlindungan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Dalam buku yang sama, dijelaskan juga bahwa HAM maupun demokrasi, keberadaannya guna menentang kekuasaan yang absolut, dan kesewenang-wenangan. Maka tak heran, apabila demokrasi dan HAM selalu berjalan seiringan.
Sederhananya, dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat (Vox Populi, Vox Dei), maka sewajarnya jika kita menyuarakan pendapat di muka umum, sebab hal itu merupakan hak kita sebagai warga negara. Dan sepatutnya, anggota dewan mendengarkan, kemudian melakukan dialog untuk mencari jalan keluar.
Kemudian, Ni’matul Huda dalam bukunya yang berjudul “Hukum Tata Negara Indonesia”, menjelaskan bahwa kedaulatan itu pertama-tama pada hakikatnya dipegang oleh Tuhan. Tetapi dalam konteks bernegara, kedaulatan Tuhan tersebut terwujud dalam kedaulatan rakyat. Tetapi, pada bulan Agustus yang lalu, kita diperlihatkan eksistensi bagaimana kedaulatan rakyat itu bertahan. Lebih dari itu, HAM yang merupakan sesuatu bagian yang fundamental dari warga negara, ternyata coba diganggu oleh negara. Bagaimana keluhan demi keluhan, keringat yang menetes, bola mata yang perih oleh gas air mata, ternyata belum cukup untuk membuktikan bahwa kami merasa resah.