Teras eSJe – Barangkali, saat ini kita hanya mampu menghela nafas dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini, yang seakan-akan tak pernah berhenti. Masih hangat dalam kekagetan kita akan kasus korupsi yang terjadi di Pertamina, atau pada disertasi seorang ketua partai politik yang ternyata adalah plagiasi di suatu kampus yang katanya terbaik di negeri ini.
Bahkan, yang terbaru adalah pencabulan yang dilakukan oleh seorang polisi yang menjabat sebagai Kapolres. Gila. Mungkin, menjadi muslim di Indonesia yang sedang menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, tak hanya cukup menahan sabar atas hawa nafsunya semata, lebih dari itu ia perlu menahan kesabaran akan korupsi yang tak kunjung berhenti, atau pada kesabaran atas penegakan hukum yang senantiasa memandang isi dompet belaka.
Di tengah-tengah itu, komisi I DPR RI dan beberapa perwakilan Pemerintah, malah melakukan rapat tertutup pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU-TNI) dalam hotel yang mewah kemarin malam. Maka dari itu, wajar saja apabila kemudian timbul kekhawatiran publik akan kembalinya Orde Baru seperti yang terjadi dulu.
Membayangkannya atau membaca sejarahnya mengenai apa yang telah terjadi dalam Orde Baru pun kita tak sanggup, apalagi mengalami hal serupa dalam bentuk yang baru. Meruntuhkan Orde Baru, dan mewujudkan reformasi yang dirasa lebih demokratis, bukanlah suatu hal yang mudah, butuh perjuangan, bahkan pengorbanan.
Pengorbanan itu masih bisa kita lihat pada tiap hari kamis di depan Istana Merdeka, selama 18 tahun berkumpul ibu-ibu yang menuntut jawaban atas hilangnya buah hati mereka saat aksi demonstrasi ’98, dan selama itu pula negara tetap bungkam. Dalam RUU-TNI, terdapat penambahan kewenangan lembaga negara yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yang sebelumnya 10 lembaga, kini terdapat penambahan 16 lembaga. Dan diantaranya adalah Kejaksaan dan Mahkamah Agung.
Kejaksaan sebagai lembaga penegakan hukum, dan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan, harus mempunyai wilayah yang netral dari peranan sektor lain, termasuk militer yang memiliki tugas pokok dalam aspek pertahanan. Agak lucu jika mengira RUU-TNI kurang mengetahui sejarah, bahwa dalam Perubahan UUD 1945 mengenai TNI dan POLRI sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Ayat (3) dan Ayat (4), yang memisahkan antara tentara dan polisi, dimana sebelumnya tergabung menjadi satu dalam ABRI.
Dalam Ayat (4), dijelaskan bahwa polisi memiliki tugas sebagai penjaga ketertiban dan penegak hukum, sedangkan dalam Ayat (3), dijelaskan bahwa tentara memiliki tugas untuk melindungi keutuhan dan kedaulatan negara, sekedar itu. Apalagi, sebelumnya terjadi pengangkatan seorang perwira aktif untuk menjabat sebagai Direktur Utama BULOG, padahal dalam ketentuan Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, yang menjelaskan bahwa BULOG tidak termasuk dalam lembaga sipil yang diperbolehkan dijabat oleh perwira aktif.
Kemudian, lagi-lagi dalam ketentuan yang sama, Mayor Teddy ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet, dan seperti yang kita tahu, jabatan Seskab tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, yang hal ini rupa-rupanya merupakan alasan fundamental tercetusnya RUU-TNI. Kita semua memiliki kekhawatiran yang sama terhadap kebangkitan Neo-Orba, bagaimana demokrasi yang terus kita jaga, walau selalu memiliki celah.
Namun, demokrasi sebagai faktor penting keberlangsungan negara ini, agaknya mulai ternodai oleh beberapa manuver politik yang terjadi akhir-akhir ini. Demokrasi menjamin kita sebagai warga negara untuk mendapat pemenuhan hak asasi manusia, kebebasan sipil, dan lain hal, sehingga kita tidak perlu merasa cemas membaca buku yang kita inginkan, kita tidak perlu merasa takut untuk berkumpul dan berserikat, kita tidak perlu merasa terancam hanya karena kita mempunyai pikiran dan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah.
Reformasi yang masih menyimpan luka itu, kini seakan luka itu kembali terasa perih, dengan munculnya RUU-TNI. Seolah-olah reformasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat itu seperti bidak dalam catur. Bertambahnya lembaga sipil yang dimasuki oleh militer dalam RUU-TNI, tentu menimbulkan banyak tanya, ada agenda apa? Atau apakah elemen sipil begitu tak berkualitas, sehingga pihak militer perlu masuk dalam lini lembaga sipil negara?
Penambahan kewenangan jabatan dalam lembaga sipil yang dijabat oleh perwira aktif, semakin menjelaskan bibit-bibit dwifungsi yang selama masa orde baru tumbuh dengan subur. Tak perlu melihat perbandingan dengan negara-negara yang menganut sistem militeristik atau otoritarianisme, sebab negara kita telah memiliki pengalaman tersendiri yang berkaitan dengan itu. Keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, seringkali juga menimbulkan kontrol politik terhadap ruang demokrasi.
Hal tersebut terjadi dengan melemahnya supremasi sipil dan hukum hanya menjadi corong kemauan penguasa, sehingga kita sebagai masyarakat sipil pada akhirnya akan terbatas dalam menyalurkan pendapat atau sekedar berpikir berbeda. Seperti yang dikatakan oleh ahli hukum yang bernama John Austin, bahwa hukum adalah kehendak kemauan penguasa. Maka dari itu, dengan penjelasan sebelumnya, tak ada alasan untuk menerima RUU-TNI, dalam bentuk apapun itu.**