SekitarJatim.com – Dinamika politik yang terjadi menjelang perhelatan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden, akhir-akhir ini semakin memanas, akibat putusan Mahkamah Konstitusi perihal batas usia calon presiden-calon wakil presiden yang menguntungkan salah satu kandidat, dimana kandidat tersebut masih mempunyai unsur kekerabatan dengan ketua hakim Mahkamah Konstitusi dan hubungan sedarah dengan Presiden yang masih menjabat saat ini.
Akibatnya, banyak pihak yang menduga bahwa hal ini disinyalir sebagai upaya dalam mewujudkan dinasti politik. Dinasti politik sendiri memiliki pengertian tentang orientasi kekuasaan yang bersifat turun temurun dan kekerabatan. Pada mulanya, dinasti politik berkembang dengan keberadaan sosok tokoh (pemimpin atau penguasa) yang mampu melakukan hegemoni kekuasaan sehingga cenderung Power Abusive akan kendali penuh atas masyarakat.
Politik dinasti juga tidak luput akan fanatisme suatu golongan terhadap seorang tokoh, yang hal itu menyebabkan fanatisme terhadap sanak saudara, atau siapapun yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Tentu dalam konteks bernegara, politik dinasti bertentangan dengan prinsip demokrasi, dimana demokrasi merupakan prinsip yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Sebab politik dinasti dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan menjurus terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya yang berjudul “Bagaimana Demokrasi Mati”, menjelaskan bahwa cara-cara atau metode-metode yang digunakan untuk melakukan penurunan atau dalam buku ini disebut sebagai “pembajakan demokrasi” adalah dengan menjadikan lembaga-lembaga negara yang independen, bahkan pengadilan serta mengendalikan media massa yang seharusnya netral untuk merugikan pihak lawan.
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa tragisnya hal ini dilalui melalui pemilihan umum, dimana para “pembajak” demokrasi membajak lembaga-lembaga demokrasi, dengan perlahan-lahan, bahkan dengan cara yang legal. Maka hal ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi digunakan melalui putusannya yang bersifat final and banding (baca: dalam bahasa Inggris) untuk melanggengkan seseorang yang mempunyai conflict of interest (baca: konflik kepentingan) terhadap salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi, hal itu cukup meresahkan dimana putusan yang dinilai melanggar kode etik tersebut, nyatanya menggoyahkan konsep trias politica, dimana kekuasaan negara terbagi menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dimana diantaranya tidak dapat memengaruhi satu sama lain, agar kekuasaan satu diantara yang lainnya dapat saling melakukan pengawasan, dan tidak tumpang tindih.
Kemudian, dinasti politik juga tak luput pengaruhnya terhadap keberadaan partai-partai politik, yang saat ini kebanyakan dikuasai menurut kekeluargaan atau kekerabatan, dimana hal itu juga yang telah menyebabkan adanya sekat-sekat antara partai politik dengan masyarakat.
Sehingga melahirkan elite politik tertentu, padahal partai politik merupakan instrumen politik yang seharusnya mewadahi aspirasi masyarakat, bukan sekedar kepentingan elite. Dimana kepentingan elite partai ini yang cenderung menyebabkan adanya oligarki. Maka dari itu, justru kecenderungan dinasti politik yang terjadi merupakan alasan yang mendasar bahwa terjadi penurunan demokrasi itu sendiri, sebab demokrasi merupakan kedaulatan rakyat, yang utuh.
Sebenarnya dinasti politik telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dimana salah satu keluarga yang mendominasi secara politik, berkuasa dengan bergantian diantara anggota keluarga. Sangat disayangkan bahwa pesona ketokohan yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Padahal, demokrasi melalui pemilihan yang dilakukan dengan sistem proporsional terbuka, dimana setiap orang, siapapun itu mempunyai hak suara untuk memilih dan dipilih, dihitung sama, sehingga diharapkan menumbuhkan iklim regenerasi.
Maksudnya adalah bahwa regenerasi tersebut bertujuan untuk menyeleksi kembali pejabat publik, dimana yang kinerjanya tidak sesuai dengan janji-janji selama kampanye, maka akan diganti dengan yang lebih menjanjikan. Oleh sebab itu, dinasti politik akan menyebabkan stagnasi regenerasi pejabat publik, sehingga terjadi hegemoni kekuasaan, yang justru menimbulkan monopoli kebijakan.
Maka apabila pemerintahan tidak berjalan secara demokratis, maka akan tumbuh bibit-bibit pemerintahan yang otoriter, mengingat bahwa Republik ini telah mengalami trauma dalam pemerintahan yang otoriter selama 32 tahun, dimana KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merajalela di penjuru Republik.
Pembatasan dua periode kepemimpinan tidak menjamin bakal hilangnya unsur dinasti politik, sebab masih adanya anggapan bahwa ketokohan seseorang yang akan menular kepada keluarga atau kerabat. Padahal, tolak ukur mengenai hal tersebut belum terdapat data yang valid. Sebab seperti yang telah dijelaskan dalam sejarah, dalam sejarah kerajaan-kerajaan, justru kemunduran terjadi disebabkan oleh penerusnya.
Hal tersebut berulang kali terjadi sampai konsep demokrasi ditemukan, dimana setiap orang berhak untuk dipilih. Bahkan seorang yang bukan siapapun dapat menjadi Presiden di Republik ini, seperti Presiden ke-2 dan Presiden ke-7 yang telah membuktikan bahwa tiap orang mempunyai kesempatan yang sama secara politik di Republik. Akan tetapi, sayangnya beliau berdua tak menunjukkan apa yang dimaksud demokrasi itu sendiri. Hanya ujaran-ujaran dimana masyarakat disuruh menilai, tanpa bisa berbuat apa-apa bahwa demokrasi mulai layu, dan politik dinasti akan tumbuh.