Teras EsJe – Dikala musim kemarau sedang kering dan gersang. Engkau datang seperti hujan yang menyegarkan dahaga bumi beserta makhluk hidup di sana. Memenuhi hasrat kebahagiaan dengan segala tingkah lakumu yang lucu. Aku berdiri di samping pohon mangga yang enggan berbuah itu, sesekali melirik untuk berbisik, bahwa cantikmu itu cukup mengusik. Dengan lantang hatiku bergetar ketika kedua bola matamu memandang sesuatu dengan jernih. Meski yang kupendam ialah berupa pujian perihal keindahanmu, namun aku tetap membisu, karena cemburu.
Ketahuilah manisku, ketika pengkhotbah sibuk berucap tentang keyakinan, aku sibuk bergulat meraih genggaman tanganmu. Ketika bunga di taman menyebarkan keharuman dan kesejukan, namun engkau menyebabkan kegelisahan hati dan pikiran. Ya, karena kita saling berjauhan dalam jarak dan perasaan.
Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga sehat selalu. Doaku pagi tadi. Tentangmu dan selalu tentangmu, lembutku. Apalagi, semalam hujan deras. Namun sebentar, seperti saat engkau marah, sayangku. Tentang kata-kata indah yang hanya kutulis untukmu. Namun penuh makna, karena sekali lagi kutekankan, hanya untukmu. Mana mungkin bukan untukmu? Toh tulisanku bersumber dari perenungan panjang perihal begitu indahnya senyummu.
Daraku, engkau ialah arah mata angin di lautan, sedangkan aku ialah pelaut dengan perahu kesunyian. Kau, menuntunku untuk berlabuh di dataran, namun kau lupa bahwa pelaut tidak lagi disebut pelaut jika tidak berada di lautan.
Namun, ketika kau berjalan-jalan, akan selalu aku ikuti dengan sembunyi-sembunyi. Bukan, aku bukanlah penguntit. Aku hanyalah seorang pecinta. Biarkan aku begitu, agar hatiku damai mengetahui tentang apapun yang dilakukan oleh seseorang yang kucinta. Lalu apa kira gunanya keberadaan cinta, jika hanya ada gelisah? Kan kuberitahu, adanya cinta hanya untuk berbahagia. Dan tentu saja kau kiblat kebahagiaanku, karena aku seorang pecinta.
Meja-meja penuh makanan, kursi kekuasaan, mahkota wawasan, bagiku semua itu omong kosong. Semua itu tentang kerakusan. Cinta bukanlah tentang kerakusan. Sudah berapa banyak kisah para pecinta yang rela dicampakkan?
Apakah aku termasuk? Kutanyakan kepada kau, sepenggal rusukku. Dan aku pun tidak butuh jawaban itu, karena aku seorang pecinta. Cintaku tidak terukur oleh penerimaan maupun penolakan. Hatiku tabah perihal penantian. Meski berlumut sekalipun, atau harus menggenang oleh sungai cinta yang mengalir tanpa akhir. Aku telah merenung di keramaian manusia-manusia serakah, berdiri dan berpikir, bagaimana bisa hatiku memilihmu? Namun sekian lama aku tersadar, bahwa itu semua hanyalah sia-sia belaka.
Pikiranku jernih, namun hatiku telah keruh oleh rindu. Rindu yang entah kapan menemui titik temu. Hasrat menggebu-gebu dariku, sempoyongan namun tetap melangkah. Kisah klasik para pendusta, suara bising keramaian kota. Hanya hembusan nafasmu sebagai obat penyembuh. Bernafaslah menderu-deru di dekatku. Embun pagiku, rasanya sungguh seperti berada di surga. Waktu memang cepat berlalu, berbeda bagi para pecinta. Karena rasa bukan soal waktu, namun tentang ruang. Ruang yang bernama pertemuan. Hanyalah seorang pecinta yang berjalan memperdebatkan rasa.
Beruntung seseorang menjadi pecinta, bukan pembenci. Namun kadangkala pembenci lahir dari pecinta yang handal namun tidak memiliki mental. Namun tentangmu? Hanya keindahan dan kesejukan. Kenyamanan yang bukan dibuat-buat, melainkan datang dengan sendirinya. Menghampiri lantas menetap dan bermukim di lubuk hati ; senyummu.
Saat dunia hanya berisi ketamakan manusia akan harta, diriku tamak tentangmu, mencoba menjadi penambang hatimu. Merayu pun tak bisa. Di hadapanmu, diriku seperti bocah lugu yang meminta permennya kembali.
Gemerlap malamku, kau milikku. Dalam dekapanku yang hangat serta rayuanku yang utuh. Selayaknya akar yang menancap ke tanah. Dunia dan seisinya hanyalah omong kosong, terkecuali kau, kekasih. Karena kau adalah jawaban atas kekosongan yang ada padaku. Kemarilah, jangan biarkan aku menjadi gelandangan yang salah arah. Arah yang kumaksud hanyalah kau, kerlipku. Sebagaimana burung-burung bermigrasi mencari tempat perlindungan. Kau tak terganti. Ingat, ah kata-kataku ini. Bagaimana aku bertindak membuktikan kata-kata yang terucap, jika kau sendiri enggan ingin mengerti.
Genggaman kalbuku, kau biarkan aku menjadi seorang musafir yang berkelana di gurun kesunyian. Langkah-langkah rasa sudah berinteraksi satu sama lain, namun tetap saja kau enggan hadir. Cukupkah kisah ini? Cinta ini? Hatiku memberontak. Katanya, tidak peduli suatu kisah berakhir bahagia maupun sedih, namun pada intinya suatu kisah akan terkenang karena ketetapan cinta di dalamnya.
Aku pun tertegun, lalu terbangun. Berusaha mengumpulkan sisa-sisa kepingan kenangan yang telah terbakar oleh api kekecewaan. Kekecewaan ini berasal dari pengkhianatan. Bukan berasal dari cinta. Karena cinta tak akan mengenal apa itu kecewa. Samudera indahku, gejolak cinta telah menjadikanku gelandangan tanpa uang, kekuasaan, bahkan wawasan. Hanya tentangmu. Dan aku bahagia atas itu. Meski pengap oleh udara yang telah kuhirup, namun cinta tetap berharap akan ketetapan yang tetap.
Kekasih, cinta bukanlah perebutan, tak ada perang yang berlandaskan cinta. Tak ada lagi fatamorgana tentangmu, aurora sinar alismu. Bahkan angkasa raya pun takluk menjadikanmu sebagai kodratku. Biarlah, harum tubuhmu yang tersisa, menjadi kerlap-kerlip sunyiku. Takdir telah berupaya bersikap adil. Namun, takdir telah lupa bahwa cinta tak butuh keadilan, cinta hanya membutuhkan suatu ketetapan.