SekitarJatim.com – Senin 22 April 2024, palu sidang Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus kekalahan telak Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sengketa Pilpres 2024. Selesai sudah penetapan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai penerus kekuasaan Presiden Joko Widodo. Namun begitu, putusan palu MK tidak lantas berlaku larut dalam memuluskan berbagai kebijakan Prabowo-Gibran ke depan.
Seperti diketahui, penambahan kursi menteri kini menjadi wacana yang kencang dibicarakan. Dalam hubungannya itu, disinyalir ada upaya merangkul semua kekuatan politik untuk bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, yang berarti tidak usah oposisi. Sebelumnya, Ketua MPR sekaligus petinggi Partai Golkar Bambang Soesatyo juga mengungkapkan pandangan terkait jalannya pemerintahan ke depan. Ia berharap semua partai bergabung dalam pemerintahan dan tidak ada yang menjadi oposisi.
Sebagai pandangan politik, keinginan semacam itu tentu bukanlah hal baru agar membuat suasana menjadi stabil, terutama agar menjaga stabilitas bagi sebagian pihak. Sayangnya tidak cukup hanya bermodal keseriusan untuk merangkul semua kekuatan politik. Pada kepemimpinan Jokowi misalnya, kelenturan PAN untuk bergabung tidak bisa dipisahkan dengan jatah Kementerian Perdagangan, hal yang sama terjadi dengan Demokrat, masih beruntung ada PKS yang konsisten berada diluar pemerintahan. Tentu hilangnya oposisi dalam suatu pemerintahan dapat menciptakan sistem pemerintahan yang absolut.
Dalam pada itu, sebetulnya ada amanat Undang-Undang yang membatasi kementerian hanya 34, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, di dalam pasal 15 disebutkan “Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34”. Namun sekalipun undang-undang sudah membatasi komposisi kementerian, penambahan kursi menteri menjadi 40 bukan tidak mungkin terealisasi.
Pada hematnya, penambahan kementerian tidak begitu diperlukan, apalagi diharap bisa menyelesaikan beragamnya proyek pemerintah. Tantangannya tidak pada kurangnya jumlah kementerian, setidaknya sering pada tidak cukup efektifnya kementerian yang ada, selain nyatanya masih ada kementerian yang tidak produktif atau berada dalam kewenangan yang sejenis, sudah pasti akan membuat pemborosan anggaran. Seperti misalnya Kementerian Perdangangan dan Kementerian Perindustrian, alangkah baiknya bila dilebur menjadi satu.
Penambahan nomenklatur kementerian berarti harus mengalokasikan anggaran, sedangkan banyak dari kementerian yang ada, perlu penguatan untuk memaksimalkan reformasi birokrasi didalamnya, ada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang masih perlu membenahi sistem di lembaga pemasyarakatan, tantangan perkembangan teknologi yang akan selalu dihadapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak transparansinya Kementerian BUMN, dan Kementerian Perdagangan yang juga belum maksimal mengurus harga pangan hingga seringkali kebanjiran impor, bahkan kinerja Kementerian PUPR yang dianggap cukup diantaranya, masih memerlukan penguatan.
Upaya-upaya untuk membenahi masalah dalam kementerian yang ada tentu tidak akan bisa usai, karena penguatan sendiri juga bukan tujuan melainkan upaya terus-menerus, sudah sebaiknya melanjutkan dan membenahi yang ada, demikian seperti perlunya untuk menjaga amanah undang-undang. Terlebih lagi sebagai Negara Hukum. Seperti tertuang dalam perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal 1 ayat (3) yang disebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya bahwa bila sarana yang diciptakan untuk menjaga kehidupan bersama belum cukup menjadi alasan yang layak dipatuhi, yang barangkali masih dikesampingkan, maka akan sulit untuk menghadirkan stabilitas.
Aktifitas politik seharusnya tidak lebih masif dibandingkan dengan upaya-upaya dalam membangun budaya taat hukum, selalu dibutuhkan komitmen untuk menjadikannya sebagai rel bagi aktifitas politik dan tentu bagi semua pihak, mau oposisi ataupun pihak yang berkuasa. Artinya disamping ada aktifitas politik yang tidak mungkin dihentikan, yang mungkin pula akan terus-menerus memperbarui modelnya –bak lokomotif, katakanlah penambahan kursi menteri menjadi kebutuhan, maka perlu diperhatikan sejauh mana efektifitasnya untuk eksis. Harus lebih dari sekedar mengawal jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan.
Hanya saja, ada satu keperluan yang tidak bisa berlaku tanpa waktu yang lebih lama lagi dan sebabnya menjadi jauh lebih penting. Selain harus memulai kembali, nanti dan bahkan seberapa sering aktifitas politik mempermudah dan mengubah ketentuan undang-undang, yang selanjutnya juga berimbas pada pudarnya pembatas bagi aktifitas-aktifitas politik. Hal ini hanya akan menjadi pr kita bersama, dan tentu saja bukan pr untuk sekali ini, bahwa ada keperluan untuk menempatkan hukum diatas kepentingan, dan harus berlanjut terus-menerus sampai menjadi budaya, baru hukum akan menjadi budaya.***
Penulis: M.R. Firdausi
***Klik tautan Google News dan dapatkan berita terkini serta informasi bermanfaat lainnya di perangkat Anda.