Romantisme Pesantren Versi “Hati Suhita”

  • Bagikan
Romantisme Pesantren Versi “Hati Suhita”
Foto: Sinopsis film perjodohan Hati Suhita (instagram.com/@filmhatisuhita)

SekitarJatim.com – Baru-baru ini, film “Hati Suhita” menjadi salah satu tontonan favorit bagi kalangan muda. Pasalnya, film bernuansa pesantren ini sangat menguras perasaan perempuan yang harus menahan emosi di awal masa pernikahan. Padahal seharusnya, masa-masa awal menikah adalah fase paling indah bagi pasangan suami-istri untuk menjalin cinta. Nyatanya tidak demikian yang dirasakan oleh Gus Biru yang diperankan oleh Omar Daniel dan Alina Suhita yang diperankan oleh Nadya Arina. Hal ini terjadi akibat dari perjodohan orang tua yang berujung pada konflik dua tokoh utama tersebut.

Tak dapat dipungkiri, pesantren sebagai wadah keislaman selalu berhati-hati dalam menjalankan berbagai ibadah, termasuk dalam mencari pasangan hidup. Hal itu pula yang dilakukan oleh pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Kediri dalam mencarikan jodoh untuk sang anak yang tiada lain adalah Gus Biru. Mengingat perkenalan Gus Biru dan Alina Suhita sudah terjalin sejak kecil. Keyakinan akan kecocokan keduanya pun muncul dari pihak orang tua Gus Biru.

Akhirnya, kedua orang tua Gus Biru menjodohkan anaknya dengan Alina Suhita dengan beragam pertimbangan; Alina yang cantik, cerdas, dan berpotensi menjadi penerus kepemimpinan pesantren. Tanpa memikirkan bagaimana sebenarnya perasaan Gus Biru waktu itu.

Di satu sisi, sikap patuh Gus Biru terhadap keinginan kedua orang tuanya untuk menikahi Alina Suhita patut diacungi jempol. Apalagi di zaman sekarang, seorang anak secara menyeluruh lebih dominan dalam menentukan siapa yang layak untuk menjadi pendamping hidup. Orang tua hanya berfungsi sebagai pihak pendukung yang memberikan saran saat anak dipandang salah dalam mengambil langkah. Apalagi menikah bukan hanya perkara menyalurkan hasrat biologis, tapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda menjadi keluarga besar yang nantinya akan mempengaruhi perjalanan pesantren.

Namun di sisi yang lain, pernikahan sebagai satu-satunya pintu sah menjalin cinta antar dua orang bagi umat islam, yang notabene menghasilkan kebahagiaan bagi sepasang pengantin baru, malah berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dalam rumah tangga Gus Biru. Tidak ada kebahagiaan yang dirasakan oleh Gus Biru maupun Alina Suhita. Keduanya terjebak dalam keadaan yang sulit.

BACA JUGA:  Menegakkan Keadilan Melalui Sistem Hukum yang Berkeadilan

Gus Biru yang masih belum bisa move on dengan cinta lamanya yang bernama Ratna Rengganis, sedangkan Alina Suhita merasa tidak diperlakukan sebagai layaknya seorang istri. Berangkat dari keadaan tersebut, konflik-konflik lain pun ikut pecah seiring kesibukan Gus Biru mengurus café, Alina Suhita mengurus pesantren, dan orang-orang terdekat keduanya yang saling bersinggungan.

Dalam keseharian Gus Biru dan istrinya, keduanya sibuk untuk “terlihat baik-baik saja” dihadapan Abah dan Umik. Seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi di antara keduanya. Menurut hemat penulis, hal tersebut adalah salah satu bentuk sikap ideal seorang anak yang memang diperintahkan oleh agama untuk menjaga perasaan kedua orang tua. Meski harus ada perasaan yang dikorbankan. Ya, Gus Biru mungkin merasa menjadi korban atas “Budaya Perjodohan” yang sudah lumrah terjadi di dunia pesantren, dan Alina Suhita harus menjadi korban atas perlakuan suaminya yang begitu dingin.

Dari saking dinginnya, ungkapan tidak ada cinta dari Gus Biru untuk Alina Suhita benar-benar ditampakan di malam pertama saat keduanya sudah berada di dalam kamar. Lantas perempuan mana yang tidak merasakan sakit saat dihadapkan dengan kenyataan seperti itu?

Bagi penulis, keteguhan prinsip yang dipegang oleh Gus Biru untuk tidak berhubungan badan dengan Alina Suhita dikarenakan tidak ada cinta yang tumbuh memang patut dipertanyakan. Pasalnya, Alina Suhita ditampilkan sebagai sosok yang cantik, cerdas, dan ideal untuk menjadi istri dari seorang Gus. Dalam artian, rasa cinta Gus Biru atas pacarnya waktu itu, telah berhasil membunuh hasrat biologis seorang laki-laki normal terhadap perempuan. Apalagi perempuan itu adalah sudah berstatus sah sebagai istri. Dari sini, penonton disuguhkan kekuatan cinta yang begitu dahsyat dari Gus Biru terhadap pacarnya, Ratna Rengganis.

BACA JUGA:  Mengenal CLS (Critical Legal Studies Movement) Lebih Dekat

Akan tetapi, apa yang dilakukan Gus Biru terhadap Alina Suhita di fase awal pernikahan jelas tidak bisa dibenarkan, meski dengan alasan tidak ada cinta. Sebab, Gus Biru sudah berani menempuh jalan hidup untuk menikahi Alina Suhita atas landasan bentuk kepatuhan seorang anak terhadap orang tua. Secara otomatis, setelah ijab kabul dilaksanakan, mau tidak mau Gus biru harus melupakan Ratna Rengganis dan berperilaku baik terhadap istrinya. Baik secara sikap, perkataan, maupun perbuatan.

Untungnya, Alina Suhita ditampilkan sebagai sosok yang kuat menahan emosi dan mampu menjaga perasaannya saat dalam keadaan terpuruk. Termasuk saat muncul sosok laki-laki lain bernama Kang Dharma yang diperankan oleh Ibrahim Rasyid. Alina Suhita tidak sedikit pun tergoda atau membuka ruang pada Kang Dharma untuk semakin mendekat. Sehingga, rumah tangga Gus Biru berjalan langgeng sampai di penghujung cerita.

Faktanya, keadaan rumah tangga seperti Gus Biru juga bisa terjadi pada kehidupan nyata seseorang, meski tidak sepenuhnya sama. Terutama di kalangan pesantren. Jika sudah demikian, maka tidak ada jalan lagi selain berpikiran positif bahwa apa yang sudah diberikan oleh orang tua terhadap anak, khususnya tentang pendamping hidup adalah versi yang terbaik.

Memang, hal ini tidak mudah dilakukan oleh seorang anak. Apalagi jika anak sudah mempunyai pilihan sendiri atau bahkan sudah menjalin ikatan pacaran dalam durasi yang cukup lama. Tentu perlu penyesuaian dan kesadaran tingkat tinggi agar anak bisa memahami apa maksud dari perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Mengingat perjodohan dalam ranah pesantren bertujuan untuk menjaga nama baik dan kemajuan pesantren di masa depan.

_____
*Kholil Rohman, Seorang pegiat literasi asal Kabupaten Sumenep yang saat ini bermukim di Kota Batu dan menjadi Murabbi di Ma’had Sunan Ampel al-Aly UIN Malang

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *