SekitarJatim.com – Sudah banyak menghiasi layar media sosial kita, tentang siapakah calon presiden (capres) yang diberi julukan “Gemoy”. Tentu, julukan itu tidak serta merta datang tanpa alasan. Ya, sepertinya pembaca sudah paham ini akan mengarah pada sosok capres yang mana.
Jika dilihat dari segi bahasa, KBBI tidak mengeluarkan arti “Gemoy” secara jelas. Namun, berdasarkan pemahaman kolektif dari seluruh kalangan, gemoy diartikan dengan beragam keadaan. Mulai dari “Lucu”, “Imut”, “Suka joget”, bahkan bisa juga “Cakep”. Semua itu berkumpul menjadi satu-kesatuan sehingga timbullah istilah “Gemoy”.
Namun, yang menarik perhatian penulis, dan mungkin juga seluruh warga indonesia tentang video Okky Madasari yang diposting di @ahmadchannel93 tentang tanggapan atas pemimpin gemoy yang lebih ke arah negatif.
Entah tanggapan tersebut murni datang dari naluri seorang penulis yang berpikir kritis, atau jangan-jangan berangkat dari suatu kepentingan tertentu yang bersifat privasi? Jelas, tidak ada yang tahu pasti jawaban itu lebih condong ke mana.
Pemimpin Gemoy Bagi Kalangan Pro
Jujur saja, saya juga termasuk anak muda indonesia yang suka terhadap trend yang berbau “Lucu”, “Imut”, dan pokoknya yang “Menyenangkan” gitu deh. Selain menghibur diri dari berbagai masalah dan rutinitas yang membosankan, hal seperti itu mampu menyegarkan pikiran untuk kembali fresh bekerja. Siapapun itu.
Lebih jauh lagi, bagi barisan pro pemimpin gemoy, tentu postingan Okky Madasari menuai kontroversi yang bisa mereka bantah dengan berbagai macam dalih. Semisal mereka akan mengatakan seperti ini, “Aslinya, hadirnya julukan “Gemoy” untuk salah satu capres ini tidak bisa dijadikan dalih paten terhadap pemikiran, gagasan, dan kerja-kerja lain ke depannya.
Toh, belum tentu ke-gemoy-an ini juga akan menghasilkan pola pikir dan gerakan lapangan yang gemoy (tidak tegas/tidak kreatif) nantinya. Malah bisa jadi sebaliknya”.
Jelas, perkataan di atas adalah contoh dalih yang akan diungkapkan oleh mereka, kalangan yang pro terhadap capres yang baru-baru ini mendapat julukan “Gemoy”. Bahkan mungkin, akan timbul dalih dan argumen lainnya untuk meng-counter fakta “Gemoy” yang cenderung ke arah negatif oleh pendiri media Omong-omong ini. Entah berbentuk seperti apa.
Sekilas, jika dibawa ke arah berpikir baik (husnuzan), penulis membenarkan dalih tersebut. Tanpa melibatkan banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan diukur se-detail mungkin. Apalagi zaman sekarang, orang-orang sudah mulai malas untuk menata informasi sebaik mungkin, menganalisis secara tajam, hingga akhirnya menghadirkan kesimpulan yang sanggup dipertimbangkan.
Pemimpin Gemoy Bagi Kalangan Kontra
Tanpa perlu diperdebatkan lagi, statement Okky Madasari yang muncul di short YouTube penulis sudah memposisikan dirinya berada di kalangan kontra. Terlepas dari sejauh mana hasil riset pendiri media omong-omong.com itu. Dan mungkin, keresahan tersebut juga sama persis dirasakan oleh orang lain.
Bedanya, ada yang berani mengungkapkan ke publik dengan resiko yang harus diterima, dan ada yang hanya memendam sendiri uneg-uneg dalam kepala sambil lalu menghadirkan pikiran positif yang lain.
Sementara itu, bagi penulis sendiri, statement pemimpin “Gemoy” yang dibawa ke ranah pembodohan terhadap gen Z zaman sekarang yang seolah-olah lebih mengedepankan hal-hal yang berbau “Joget-joget”, “Kebercandaan”, dan yang bersifat suka-suka saja ada benarnya juga. Ya, bukankah masa depan juga bisa dibaca dari kebiasaan yang ditampilkan saat ini?
Sehingga, bukan tidak mungkin jika pemimpinnya sudah sering bercanda dengan beragam “Diksi” yang dimasukkan dalam argumennya, juga akan berpotensi mengurus negara sebesar Indonesia ini dengan tidak serius.
Dari sini, penulis bukan berarti melarang pemimpin atau siapapun untuk bercanda. Tapi secara prinsip, bercanda atau hal-hal yang berbau kelucuan tetap harus berada di tempatnya. Kondisinya pun juga harus selaras.
Jangan sampai nantinya, kesulitan rakyat dalam mengakses pendidikan juga dianggap hal yang “Bercanda”. Kesulitan rakyat dalam mendapat pelayanan kesehatan yang berkualitas dianggap sebuah “Ketidakmampuan”. Bahkan sampai pada sulitnya menyuarakan aspirasi dianggap sebagai sebuah menjaga “Norma” dan “Sopan santun” yang sampai saat ini masih terus diperdebatkan.
Pastinya, penulis sebagai bagian dari warga negara juga berharap keseriusan dan kebercandaan siapapun, termasuk pimpinan negara bisa berada di tempat yang “Seharusnya”. Dan, dengan keyakinan penuh, seluruh warga negara pasti di mana tempat yang pas untuk keduanya.***