Apakah engkau masih mengingat-ingat waktu ketika kita berdua sedang duduk di taman pada malam hari itu, saat-saat hujan selesai turun, menyisakan aromanya yang khas dengan disertai daun-daun bunga yang berserakan di jalan dan bangku-bangku. Ketika lampu-lampu taman yang bundar itu menyala dengan sinarnya yang agak redup. Membuat wajahmu yang ayu itu terguyur oleh sinar rembulan purnama. Aku menyaksikan panorama itu, salah satu keindahan yang sederhana, menikmatinya seraya bersyukur berada di dekatmu, sebelahmu.
Mendengar nafasmu, melihat bola matamu yang indah itu, atau gerak-gerikmu yang menggemaskan sekaligus lucu. Aku menyaksikan itu dengan sungguh-sungguh, sayang. Andai engkau tahu, pada waktu itu, aku berdoa terus-menerus, Pada Tuhan, agar mendapat kesempatan yang sama, dengan orang yang sama, engkau selalu. Atau, kira-kira pada usia senja, kita masih pada kisah yang sama.
Engkau memang lautan. Cukup bagiku berdiri ditepian untuk mengerti betapa indahnya dirimu. Dan sekaligus menyadarkan alam sadarku bahwa engkau sungguh sulit untuk digapai.
Sayang, pada waktu itu engkau sibuk bercerita akan sesuatu, dan aku menyimak dengan tabah, sebab aku mencintaimu. Tak ada cinta tanpa ketabahan. Dan, manusia hanya tabah pada apa yang ia cintai. Sebetulnya, aku tak mengerti apapun yang engkau katakan, tentang ceritamu itu. Engkau, bercerita dengan semangat, sebab engkau gadis yang penuh semangat. Aku menyukainya, aku menyukaimu. Engkau harus tahu itu.
Katamu, aku adalah seorang pembual. Aku tertawa mendengar tuduhanmu itu, tentu. Lalu, aku membisik padamu. Mendekatlah, sayang. Lebih dekat. Sebab sesuatu yang akan kukatakan cukup rahasia. Mendekatlah, sampai bola mata kita berdua saling menatap, dan waktu begitu seolah-olah terasa telah berhenti. Sayang, banyak orang telah mencoba menafsirkan tentang cinta, para pujangga, akademisi, bahkan apapun pekerjaan mereka, semuanya berhak memiliki pengertian perihal cinta, sesuai dengan selera masing-masing. Dan engkau tahu, definisi cinta bagiku seperti apa? Bagiku, cinta adalah dirimu, sayang. Aku jujur dan perkataanku murni. Sungguh.
Tingkahmu itu, perangaimu. Sempat aku bertanya-tanya, sebetulnya jelmaan bidadari dari siapa dirimu itu? aku takjub. Sempat engkau tertawa saat kukatakan bahwa banyak hal telah kupelajari, tentang hukum, politik, dan termasuk cinta. Segalanya masih terasa masuk akal, sampai aku bertemu denganmu, dan ketidakmasuk akal-an itu mulai berada, dalam pikirku, sehingga aku masih tidak mengerti, mengapa Tuhan menciptakan makhluk seindah, secantik dirimu ketika aku masih hidup.
Barangkali, Tuhan telah memberiku kesempatan untuk hidup dan mencintaimu. Sehingga diriku menjadi pribadi manusia yang pandai dalam bersyukur. Mensyukuri segala nikmat dalam kesempatan-kesempatan yang barangkali cukup singkat, untuk mengenalmu, dalam mencintaimu. Aku khilaf, tersungkur, dan tak berdaya, dalam sikap yang jujur bahwa saat ini, dirimu adalah keindahan yang paripurna. Rembulanku.
Sayang, perasaanku padamu bukanlah kepura-puraan sebab dalam perihal cinta, aku adalah pengembara yang tersesat dalam senyummu yang malu-malu. Tersesat dan tak beranjak mencari jalan keluar. Biarlah aku menetap disana. Dalam keabadian.
Kerlipku, sebelum beranjak dalam tidurmu yang nyenyak itu, selain telah kudoakan sepanjang waktu, bacalah beberapa penggalan puisi yang kubuat, karena puisi-puisi itu, terlahir dari alismu dan lain-lain yang melekat padamu.
“Kadang-kadang, sulit bagiku membedakan lebih segar mana antara air putih atau kecupanmu di pagi hari.
Apalagi, pada subuh hari, pada wajah orang-orang baik yang terbasuh oleh air wudlu, itu juga kesegaran, dimana mereka-mereka bangun pagi, untuk menyambut sebuah hari, dengan pertama-tama berdo’a pada Tuhannya.
Semua itu sama-sama segar bukan? Oh bukan, tapi senyummu itu, yang paling-paling segar, diantara definisi kesegaran di muka bumi ini.
Sungguh, cobalah tersenyum dengan menghadap arah timur itu, agar matahari merasa malu, bahwa sinarnya tak cukup hangat dari perhatianmu
Atau, sesekali, menengadahlah pada awan di angkasa, agar gumpalan awan tahu, bahwa kelopak bola matamu itu yang lebih teduh, dari sekedar gumpalan awan mendung yang akan menjadi hujan.
Dan, juga jangan lupa, pandangilah gunung-gunung yang megah itu, agar ia tak terlalu jumawa, bahwa ada yang lebih cantik dibanding panorama di sekitarannya, yakni dirimu.
Tetapi, tak perlu memandang laut, sebab laut sudah mengerti siapa yang lebih merdu dari gemuruh ombak, dengan suaramu. Bahkan, laut pun sepakat denganku, suaramu-lah yang lebih menentramkan qalbu, lewat telinga.
Aku tak mengada-ada kata-kata ini, sebab dari matahari, gunung-gunung, laut, gumpalan awan, dan embun di subuh hari, akan protes padaku jika kebenaran ini tak kutulis demikian, bahwa alam pun turut mengakui akan keindahan itu.
Lihatlah, burung-burung itu terbang sambil sesekali berpuisi dengan merdu, atau daun-daun jatuh oleh angin, mereka menari dengan gemulai.
Bagiku itu masih tak cukup, sebab segalanya terasa begitu indah, andai bersamamu tak hanya dalam do’a, angan-angan, bahkan tulisan sekalipun, itu masih tak cukup.”***