Mungkin, kehadiran malam adalah sarana untuk menghibur orang-orang yang sedang lelah, mereka yang sedang resah, maupun yang sedang berbahagia. Tapi, di balik keindahan bintang-bintang, nyala bulan dan lampu-lampu jalanan, malam selalu menyembunyikan sepi, yang tak pernah dipahami oleh siapapun, kecuali bagi mereka-mereka yang masih terjaga.
Pada cakrawala langit yang menyimpan sesuatu yang tak pernah kita mengerti. Langkah kaki itu melangkah pelan dan hati-hati, dari batu-batu licin dan penuh lumut yang menetap di pinggiran sungai, ia menyinari langkah kaki dengan tangan kanan memegang senter yang berbahan bakar baterai, sedangkan tangan kiri memegang ember yang berisi umpan ikan, sebotol penuh air putih, dan kantong plastik yang di dalamnya terdapat sebungkus rokok dan roti. Pada bahu kirinya, bersandar tas pancing yang ia beli bertahun-tahun lalu.
Seringkali, orang-orang yang mengenalnya, memanggilnya kakek Qirun. Seperti malam-malam yang lalu, di telusurinya sepanjang sungai itu, sampai pada batu besar yang menjorok, dan di belakangnya terdapat beberapa pohon Akasia yang cukup rindang dengan bunganya yang sedang mekar. Dan pada daunnya yang terhempas oleh angin malam, berdesir berpadu dengan aliran sungai yang tenang. Ia lekas duduk dan bersiap mengeluarkan perlengkapan memancingnya, berharap ikan-ikan di sungai, seperti ikan mujair, gabus, dan kadang-kadang ikan nila, untuk menyambut umpan.
Di seberang sungai, terlihat dua orang yang sedang memancing pula, ketika kakek Qirun menyapa dan terbalas, dari samar-samar suaranya ia mengenali dua orang pemancing itu. Birin, salah satu dari mereka berdua adalah seorang aktivis mahasiswa. Setelah lulus dari sekolah hukum, ia memilih menjadi advokat di suatu Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Tentu, dari pekerjaannya itu, Birin hanya mendapat sedikit penghasilan.
Tapi, baginya itu tak mengapa, membantu orang-orang kecil dan mendapat senyum dari orang-orang itu adalah sebuah kelegaan. Mungkin, lebih tepat jika disebut sebagai kebahagiaan. Senyum yang jarang-jarang, akibat kehidupan mereka yang selalu berada dalam kondisi tertekan. Namun, senyum itu tulus, dan bukankah Tuhan selalu menganjurkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa membantu mereka-mereka yang memang sedang butuh bantuan? Tetapi, akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganjal perasaan Birin, sehingga ia memilih pergi memancing malam-malam di sungai ini.
Hal itu berasal dari stigma masyarakat, bahwa pengacara atau seseorang yang lulus dari sekolah hukum, selayaknya memperoleh pendapatan yang bisa dikatakan lebih dari cukup. Jika Birin mematok harga dari jasanya, barangkali ia akan jarang melihat riang gembiranya orang-orang itu, senyum itu akan memudar karena harga. Beruntung baginya jika istrinya mengerti. Perempuan yang memiliki pengertian lebih memang pantas untuk dicari.
Khoiru, pemancing satunya lagi, adalah kawan Birin dalam aktivisme mahasiswa. Lebih memilih meniti jalan sebagai politikus dalam suatu partai. Namun, nampaknya belakangan ini, ia mengalami sebuah keresahan, hingga membuatnya memutuskan untuk memancing bersama Birin pada malam ini. Dalam partai, Khoiru dikenal sebagai sosok yang idealis, berbeda dengan kebanyakan aktivis lain yang bergabung dalam partai. Satu-satunya kepentingan politik yang dimiliki oleh Khoiru adalah keadilan. Tetapi, keadilan hanya akan terjadi jika orang-orang mampu bersikap jujur. Dan dalam partai, kejujuran adalah kelemahan.
Timbulnya keresahan itu adalah ketika anggota partai yang menjadi dewan rakyat, yang kadang-kadang atau seringkali mereka bersikap menyebalkan, membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut partai. Ia merasa menyesal membantu mereka, para pengusaha itu, untuk menjadi dewan rakyat. Padahal, Khoirul membantu mereka semata-mata untuk memastikan janji-janji, atau lebih tepat disebut dengan untaian-untaian khayalan, itu terwujud. Ia tertipu dan merasa bersalah pada mereka-mereka yang tak berdaya itu, masyarakat yang baik dan ramah tapi tak pernah berdaya pada negara.
Kakek Qirun sendiri pernah bekerja sebagai pengawas pabrik. Pekerjaan yang cukup bergengsi menurut orang desa. Namun, di kemudian hari ia berhenti, karena pada saat protes massa kenaikan upah yang dilakukan oleh para buruh. Kakek Qirun yang alih-alih berada di pihak pabrik, justru merupakan dalang di balik protes massa itu. Kini, ia tinggal bersama dengan ibunya dan adik perempuan beserta keponakannya. Di waktu senggang, ia tetap memberi arti dengan mengajar ngaji anak-anak desa. Ia tak pernah menikah, sebab kembang desa yang mampu tumbuh dalam hatinya, justru mekar bersama orang lain. Dalam pandangan orang-orang di sekitarnya, ia adalah kegagalan, seseorang yang tak pernah meraih apapun untuk dikenang.
Angin malam berhembus semakin dingin, menusuk sendi-sendi kakek Qirun yang telah menua, air sungai yang jernih, hingga pantulan cahaya bulan dan kerlip bintang-bintang terlihat di atas cakrawala, dalam kesunyian itu, kakek Qirun merasakan kedamaian. Ia tersenyum, pada dua teman pemancing khayalannya itu, pada daun-daun akasia yang berguguran dan tergurai tak berdaya oleh hembusan angin, jatuh pada sungai yang mengalir, seperti orang-orang gagal dan larut dalam kehidupan.