BANYUWANGI, SekitarJatim.com – Tidak terasa sudah empat tahun lalu beliau meninggalkan kita semua, tepat pada tanggal 15 April 2019 M atau 9 Sya’ban 1440 H pukul 09:43 WIB, KH. Moch. Shodiq wafat dan di makamkan di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Al-Ghozali, Wuluhan Jember.
Mengenang itu, Ketua Cabang PMII Banyuwangi mengajak aktivis organisatoris mengadopsi nilai-nilai keteladanan yang dicontohkan oleh Pendiri PP. Bustanul Ulum Al-Ghozali, KH. Moch. Shodiq tersebut.
Menurut Farid, semasa hidupnya, KH. Moch. Shodiq senantiasa menyerukan nilai-nilai perjuangan, moderat, dan kepemimpinan Islam. Nilai-nilai tersebut, akan terus relevan dengan situasi dan kondisi di Indonesia yang selalu mengalami krisis kepercayaan terhadap pemimpin baik dalam skala lokal maupun nasional.
”Seluruh cara berfikir, berbicara, dan bertindaknya, dapat menjadi referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan kepemimpinan bangsa,” ungkap Farid di Kantor Cabang PMII Banyuwangi, Sabtu (15/4).
Farid memiliki kenangan bersama KH. Moch. Shodiq. Terlebih ketika Farid menjadi Santri Ndalem KH. Moch. Shodiq. Beliau merupakan kiai organisatoris sejati dengan kesederhanaan dan kegigihannya, seluruh hidupnya dihabiskan untuk perjuangan.
“Berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah tidak mematahkan semangat belajar dan berjuang, KH. Moch. Shodiq memang sudah mandiri dan terbiasa memanajamen waktu antara berdagang, belajar, berorganisasi, dan mengaji sejak dini, ba’da sholat subuh beliau berdagang di pasar untuk mencukupi biaya hidupnya selepas itu bergegas ke sekolah, beliau juga aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), merupakan Organisasi Pelajar Tertua di Indonesia yang melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Dahlan Iskan, dan lain sebagainya. Selain aktifitas berdagang, belajar, dan berorganisasinya tersebut, beliau mengaji selepas maghrib di Kiai Ghozali Dukuhdempok hingga keesokan harinya. Hal itu beliau jalani hingga mengenyam Pendidikan Guru Agama (PGA).” Ujar Farid.
Setelah aktif di Pelajar Islam Indonesia, KH. Moch. Shodiq menjadi Guru Agama dan aktif dalam Perserikatan Muhammadiyah, lalu terlibat dalam pembangunan Masjid Muhammadiyah Nur Rohman dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Melati yang bertransformasi menjadi SMP Muhammadiyah 11 Jember di Dukuhdempok kala itu. Berkah keuletannya, saat mencari donatur material di daerah Grenden untuk pembangunan Masjid Nur Rohman, bertemulah beliau dengan Ny. Hj. Siti Hamidah, Santri PP. Bustanul Ulum Mlokorejo, Putri Dermawan Kaya di Puger yang merupakan Keluarga NU Tulen, beliau berdua menikah dan merintis sebuah Mushola Kecil ukuran 6×3 meter dan Taman Pendidikan Al-Qur’an yang diberi nama “Bustanul Ulum Al-Ghozali”.
Berkat kegigihan di organisasi, KH. Moch. Shodiq mempunyai segudang jaringan tokoh nasional pada Masa Pemerintahan Orde Baru sampai Reformasi. Seperti; H. M. Soeharto (Presiden Ke-2 Republik Indonesia), Tommy Soeharto, S.H. (Putra Presiden Ke-2 Republik Indonesia), Dr. H. Mar’ie Muhammad, M.Si. (Menteri Keuangan), Prof. Dr.-Ing. Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan), Siti Hardijanti Indra Rukmana (Menteri Sosial), Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A. (Presiden Ke-6 Republik Indonesia), Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh, DEA. (Menteri Pendidikan), Dr. Ir. Djoko Kirmanto, Dipl.HE. (Menteri Pekerjaan Umum), Dr. H. Marzuki Alie, S.E., M.M. (Ketua DPR RI) dan lain sebagainya. Jaringan itulah yang menjadikan perkembangan Pondok Pesantren Bustanul Ulum Al-Ghozali begitu pesat, baik dari segi insfratruktur maupun kuantitas santri yang kurang lebih mencapai 5.000 orang.
Farid menyebut, KH. Moch. Shodiq merupakan sosok pemimpin yang ikhlas, meski dengan segudang jaringan dan ribuan santri, beliau tidak mengharapkan imbalan apapun, murni dari Santri, oleh Santri, dan untuk Santri. Hal itu sejak dulu dilakukan, ketika menjadi Guru Agama, beliau rela mengayuh sepeda sejauh 10 kilometer dan tidak digaji untuk menyampaikan mata pelajaran agama. Bahkan, menjadi Pengasuh Pondok Pesantren tidak merubah gaya hidup beliau, sarapan pecel 5.000 langganan sejak remaja, pakaian dan perlengkapan ibadah yang dibeli di pasar tanjung dan hanya itu saja, handphone masih nokia basic, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan totalitas beliau dalam berjuang dengan pedoman “Bondo, bahu, piker lek perlu sak nyawane pisan”.
KH. Moch. Shodiq sangat menjaga keistiqomahan dalam beribadah, terutama sholat berjamaah, sholat tahajud, mengaji Al-Qur’an ba’da tahajud, dan sholat dhuha dalam kondisi apapun sampai beliau wafat. Pernah suatu ketika beliau berjalan di pagi hari terkena paku sampai diperban, saat meninjau pembangunan rusunawa santri, siang harinya beliau tetap mengimami sholat jamaah dzuhur. Malam sekitar pukul 02:00 dini hari, beliau baru pulang dari Jakarta, namun masih mengimami sholat tahajud berjamaah bersama santri.” Ujar Farid.
Ungkapan cinta kepada Para Santrinya, KH. Moch. Shodiq membentuk PP. Bustanul Ulum Al-Ghozali sebagai pondasi bagi Para Santri dalam beragama untuk tetap moderat, berdiri diatas dan untuk semua golongan. Terakumulasi dari pengajaran beliau yang lebih mengutamakan pembangunan sumberdaya manusia islam yang beriman, unggul, dan berkarakter. Hal itu tidaklah mudah, stigma negatif, dan fitnah selalu bermunculan. Namun, Pesantren tetap berdiri tegak dan eksis dalam mengajarkan ilmu agama dan kepemimpinan dengan Lembaga pendidikan mulai dari Sekolah Menengah Pertama hingga Perguruan Tinggi, dengan Kurikulum KMI Gontor berbasis Kutubussalaf dan Program Tahfidzul Qur’an.
Kecintaan KH. Moch. Shodiq terhadap santri tidak berhenti hanya disitu. Sebelum wafat, KH. Moch. Shodiq bergumam memanggil santri-santrinya “santriku, santriku, santriku”. Beliau juga pernah menyampaikan agar PP. Bustanul Ulum Al-Ghozali tidak hanya digunakan sebagai pusat kegiatan belajar mengajar saja, tetapi terbuka juga untuk kegiatan organisasi masyarakat, keagamaan, pelajar, maupun kemahasiswaan. Semoga kita selalu diakui sebagai Santri beliau.