Pengaruh Politik Etis terhadap Konstruksi Sosial di Indonesia

  • Bagikan
Gambar ilustrasi dalam artikel opini Pengaruh Politik Etis Terhadap Konstruksi Sosial di Indonesia sekitarjatim.com
Foto: ilustrasi (pinterest/@pelajaran.co.id)

SekitarJatim.com – Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai oleh Tuhan dengan akal sehat dan nafsu, mampu untuk berpolitik agar meraih tujuan yang dibutuhkan maupun yang diinginkan. Politik etis sendiri biasa dikatakan sebagai politik timbal balik, ataupun hutang budi. Politik etis bersumber dari gerakan kaum sosialis-liberalis yang prihatin dengan kondisi masyarakat jajahan yang tidak mendapat keuntungan dari negara-negara imperialisme.

Sejarah politik etis di Indonesia

Termasuk Belanda yang kala itu, masih menjajah Indonesia, sehingga dengan berat hati, politik etis diterapkan di Indonesia. Namun, implementasi dari penerapan politik etis tidak begitu signifikan, sehingga pada masa itu, muncul sebuah buku yang berjudul “Max Havelaar”, karangan Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Bahkan dari implementasi politik etis, masih terciptanya kesengsaraan bagi pribumi. Akan tetapi di sisi lain, dari politik etis pula, tumbuh kesadaran akan kemerdekaan di kalangan bumiputra.

Maka dari itu, secara tidak langsung politik etis menyebabkan terjadinya kesadaran akan mentalitas kemerdekaan bagi masyarakat pribumi. Pada masa penerapan politik etis oleh kolonial Belanda, inilah bumiputra mulai bersekolah, walaupun pada awalnya yang diperbolehkan untuk sekolah hanya dari kalangan bangsawan saja. Namun, dari sini pula, dari bangku-bangku sekolah-lah awal mulanya muncul gagasan akan spirit kemerdekaan bangsa.

Tentu saja pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan politik etis ini sebagai sebagian dari kepentingan Belanda. Politik etis mengarah pada progres Indonesia sendiri dalam menggapai kemajuan, akan tetapi masih terjerembab dalam penjajahan kolonialisme Belanda. Politik Etis ditetapkan oleh Ratu Wilhelmina pada bulan September tahun 1901.

Pada mulanya, politik etis dilakukan dengan tanggung jawab oleh Belanda yang pada itu memperhatikan pribumi dan membantu rakyat Indonesia yang mengalami kesusahan. Akan tetapi, ternyata tidak ada ketulusan perihal itu. Politik etis ini pada ujungnya sekedar menguntungkan pemerintah kolonial Belanda saja.

Misalnya kebijakan politik etis berupa irigasi, ternyata dibuat untuk kepentingan kolonial Belanda dalam perairan perkebunan, dan juga program transmigrasi merupakan bentuk kebijakan politik etis dengan maksud di mana Belanda melakukan penyebaran tenaga kerja dengan memanfaatkan lahan kosong seluas-luasnya dan hal itu tentu merugikan rakyat pribumi.

Apalagi hal itu dimaksud pula demi memecah konsentrasi pribumi yang sedang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, yang pada saat itu masih terfokus di daerah-daerah. Hal demikian juga berlaku dalam bidang pendidikan, di mana hanya kalangan tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan. Sehingga terjadi kesenjangan pendidikan, di mana masih banyak pribumi yang buta huruf pada masa itu, terutama dari kalangan non-ningrat.

BACA JUGA:  Politik Hukum dan Lika-Liku Pemilihan Umum di Indonesia

Akan tetapi, maksud sebenarnya perihal itu ialah kolonial Belanda membutuhkan tenaga kerja yang cakap dalam beberapa bidang, seperti juru tulis. Namun dengan berjalannya kebijakan itu, terlahir beberapa kaum cendekiawan lokal yang cerdas dan militan, setelah banyak dari kaum cendekiawan yang menghirup bangku sekolah di dunia Barat. Inilah, awal mula bagaimana perjuangan kemerdekaan dalam tahap selanjutnya dimulai. Pada era modernisasi saat ini, politik etis diadopsi dengan prototype yang lebih maju, para politikus menggunakan metode ini sebagai jalan alternatif, sehingga menjadikannya suatu barometer dalam berpolitik, yang dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat secara luas.

Seperti penjelasan sebelumnya, politik etis mampu dalam mempengaruhi konstruksi sosial pada masa itu, sehingga menciptakan perubahan yang disebabkan oleh alur politik etis yang begitu dominan. Maka politik etis sendiri memiliki dampak yang baik dan juga buruk. Akan tetapi, dampak buruk penggunaan politik etis bergantung terhadap siapa yang melakukan. Sebab dalam berpolitik, siapa pun enggan untuk merugi, bahkan mengalah sekalipun. Dan politik etis pula menyebabkan suatu alur kotor dalam berjalannya birokrasi itu sendiri. Misalnya bagi-bagi jabatan, yang sering kali kita jumpai dalam alur politik di negeri ini.

Sisi lain politik etis

Akan tetapi, di sisi lain, politik etis mempunyai sudut pandang yang baik, misalnya mencegah perpecahan antar kubu dalam dinamika politik, yang bermaksud jika kubu-kubu tersebut saling menyerang satu sama lain, sehingga melupakan tugasnya dalam birokrasi. Dibutuhkan atau tidaknya politik etis dalam percaturan politik yaitu ketika peluang berbanding terbalik dengan ancaman. Jadi, perlu kita garis bawahi, bahwa politik etis telah mempengaruhi konstruksi sosial masyarakat dengan dinamika politik yang terjadi, sehingga bagaimanapun politik etis harus berprinsip pada simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).

Tidak dipungkiri lagi, bahwa konstruksi sosial telah terpengaruh oleh dinamika politik. Bahkan bisa dikatakan bahwa konstruksi sosial merupakan ornamen fundamental suatu ruang lingkup masyarakat yang telah mewadahi masyarakat tersebut dalam berpolitik dengan menggunakan politik identitas mereka. Dengan hal itu, maka politik telah menjadi sebuah proses perkembangan konstruksi sosial tersebut. Agar seseorang atau sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan, sekaligus agar dapat memiliki kewenangan atas kekuasaan yang diinginkan itu, maka yang bersangkutan dapat memperolehnya melalui berbagai sumber kewenangan yang ada. Melalui sumber-sumber kewenangan tersebut, yang dimiliki, dan berbagai macam cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh tujuan itu.

BACA JUGA:  Kebebasan Berpolitik dalam Sistem Demokrasi di Indonesia

Kewenangan tersebut dapat diperoleh dari sumber-sumber instrumental. Bermaksud bahwa sumber kewenangan ini menunjukkan bahwa hak untuk memerintah berasal dari instrumen yang ia punyai, misalnya keahlian, keterampilan, maupun kekayaan. Adanya seseorang yang memiliki kewenangan dalam memerintah, sebab dimilikinya kemampuan tertentu yang dapat menarik massa.

Apalagi ketika terjadinya perhelatan politik, yakni pemilihan umum, sering kali dijumpai adanya money politic (politik uang), di mana para politikus akan membeli suara rakyat dengan uang. Padahal ini merupakan salah satu unsur politik etis, yakni politik timbal balik. Politikus mendapat suara, sedangkan rakyat mendapat uang yang tak seberapa, budaya ini seperti penyakit yang tak kunjung menemukan obatnya, sebab telah menjadi bagian dari konstruksi masyarakat itu sendiri.

Maka kolektif kolegial, ataupun kepentingan bersama harus menjadi dasar dalam berpolitik etis sehingga konstruksi sosial yang terpengaruh dari dinamika politik menjadi lebih baik dan tidak menimbulkan perpecahan antar golongan. Sehingga persatuan terbentuk secara natural. Oleh sebab itu, tulisan ini menandai mimpi-mimpi bahwa ketika pemilihan umum, rakyat tidak terpaku pada money politic, melainkan pada gagasan para petarung di gelanggang politik. Di mana mimbar-mimbar menggaungkan gagasan akan keresahan yang dialami oleh rakyat, serta cita-cita bersama, mustahil,kah?

Sumber Referensi:

  • Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)
  • Karsiwan, K and Pujiati, P (2018) JEJAK-JEJAK POLITIK ETIS PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR IPS DI SEKOLAH. Jurnal Tekstual, 16 (31). pp. 42-58. ISSN 1693-1041.

_____
*Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana fakultas hukum di Universitas Sebelas Maret.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *