SekitarJatim.com – Waktu begitu kejam pada manusia, tak ada manusia yang mampu melawan waktu, sebab waktu tak dapat diputar kembali dengan sesuka hati, hanya terpatri oleh ingatan yang dikenang. Barangkali, mesin waktu yang seringkali muncul dalam film-film itu, merupakan angan-angan manusia semata, yang teknologi itu tercipta oleh imajinasi orang-orang yang tak pernah menang oleh bayang-bayang masa lalu, kenangannya.
Kala itu, kota Malang sedang sejuk akibat pengaruh dari gerimis kecil pada sore hari, dan pada jalanan-jalanan kota Malang yang sempit serta panjang itu, masih menyisakan sedikit genangan, barangkali kenangan pula. Aku masih mengingat, pada saat terpatri pukul 6 malam, handphone-ku telah berdering beberapa kali, bukan alarm yang berbunyi, melainkan beberapa panggilan yang tak terjawab.
Pada malam hari, aku telah memiliki sebuah janji untuk menemui seorang anak manusia, seseorang yang pernah membenamkan perasaannya pada perasaanku. Pertemuan itu adalah pertemuan yang terjeda dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun yang lalu, yang pada kurun waktu tersebut, tak ada perjumpaan sama sekali, bahkan sekedar melirik pun tidak.
Hanya menyisakan bayang-bayang ia dalam ingatan yang terjaga. Dan dua foto yang terdapat dalam suatu warung kopi, tatkala aku dan ia sedang berdua, saling bercengkrama. Ketika beberapa pasang mata saling melirik bangku kayu tempat kita berdua duduk bersebelahan. Dan memang hanya kita berdua pada waktu itu yang saling berduaan.
Kemudian, aku bergegas membersihkan badan, dan menuaikan kewajibanku pada Tuhan. Walau, selanjutnya aku akan melakukan dosa kecil sebagai hamba. Aku tak luput akan kesadaran perihal itu. Kemudian aku menjemputnya tanpa ada persiapan sama sekali tentang perbincangan apa yang harus aku lontarkan padanya, sebab pada dasarnya, perasaan bersalah tatkala perpisahan tiga tahun lalu, masih membayangi diri ini.
Kerenggangan tersebut aku polarisasi sendiri, sebab pada saat ai berpisah dengannya, aku lebih memilih menerjunkan diri pada demonstrasi dan diaklektik. Aku tinggalkan ia dengan kesendirian yang kejam. Dalam alam bawah sadar, kepongahan tersebut, ternyata berwujud kerinduan, seolah-olah ingatan itu sedang menyusun puzzle yang sedikit-sedikit menguap membentuk senyumannya. Rasa bersalah tersebut, yang menyusup dalam sela-sela jaketku, sehingga kegugupan hinggap dalam gerak-gerik tubuh, coba aku kendalikan dengan susah payah.
Setelah sampai pada tempat penjemputan, aku menunggu ia dengan kecemasan yang bergelayut pada gadis yang aku campakkan itu. Kemudian, rasa cemas dengan sendirinya memudar seiring kemunculan ia dalam membuka sebuah gerbang besi, aku melihat aktivitas lumrah tersebut dengan kebahagiaan yang aku tunjukkan dalam bentuk senyuman. Ia datang menghampiriku, setelah pada beberapa langkah di depanku, aku menyapanya dengan sapaan seperti yang ditunjukkan pada seorang teman lama. Atau, aku hanya berpura-pura seolah-olah aku menganggapnya seorang teman?
Kemudian ia duduk dibelakangku setelah aku memintanya melakukan demikian, tak ada sentuhan apapun yang berarti, kecuali pemandangan kecanggungan yang terjadi diantara kita berdua. Sebab, pertama kalinya ini, ia berboncengan denganku, atau barangkali masih tersisa rasa gugup setelah waktu pertemuan yang terjeda.
Dinginnya kota Malang seakan melebur pada kebekuan yang hinggap pada kita berdua. Lalu, dengan mengupayakan kehangatan yang aku upayakan, aku memulai perbincangan dengan menanyakan kemana berlabuhnya kita berdua dalam pertemuan ini. Ahh, betapa bodohnya, pikirku, tak ada wanita yang selalu suka ditanya, sebab perempuan lebih suka ditawarkan akan sesuatu hal. Memamng lebih baik demikian.
Dalam upaya menampik pertanyaan yang aku lontarkan tadi, aku mengajaknya untuk menepi pada sebuah cafe yang cukup menarik untuk mengobrol, agak jauh memang, sebab tujuanku kesana memang untuk menghindari indera penglihatan teman-temanku yang cukup jeli melihat sesuatu yang tak bisa. Setelah memesan dan memilih tempat duduk, ia duduk berhadapan dengan kursi yang aku tempati, aku memaklumi hal tersebut, sebab aku masih melihat kecanggungan yang ia perlihatkan.
Setelahnya, kita berdua banyak membahas perihal apapun yang tak terungkap oleh waktu, ia yang terang benderang masih hafal tentang kebiasaanku, meminum kopi dan begadang, atau sekedar bercerita tentang ia yang pernah melihatku di area kampus, dan bahkan tentang kekasihnya saat ini. Aku mendengarnya dengan seksama. Sebab, gendang telingaku seperti menerima gelombang suara yang telah lama tak terdengar, suara yang dirindu, kini mengalir dengan jelas.
Aku memang membiarkan suasana menjadi demikian, agar mulutku tetap bungkam, terhadap pengakuan bahwa selama ini, diriku tak pernah benar-benar jatuh hati lagi pada seorang gadis yang kutemui setelah ia, atau singkatnya, setelah hubunganku dengan ia berakhir tiga tahun lalu, tak pernah kujumpai frekuensi kecocokan pada gadis lain, yang melekat padanya. Aku, pria yang masih sama, dengan yang ia temui tiga tahun lalu.
Selanjutnya, ada gejolak batin yang terjadi diantara kita berdua, seperti gelembung yang meledak begitu saja, dengan malu-malu ia berdiri lalu pindah duduk di sebelahku, setelah aku suruh ia demikian. Ada segenap kerinduan yang tuntas dan memudar, diaroma demikian yang terjadi di antara kita berdua.
Tanganku, ia genggam dengan erat, mencubitnya atau mengajaknya bermain-main seperti sesuatu yang telah lama menghilang dari pandangannya. Aku membiarkan hal tersebut terjadi, sebab tak ada alasan untuk merasa enggan berbuat demikian. Lalu, ia menaruh bagian kepalanya yang sebelah kanan, pada pundakku yang sebelah kiri, lantas aku bergumam, “ya Tuhan, andai aku hidup abadi, maka aku ingin terus seperti ini.” Kini, kehampaan yang menghilang tiga tahun lalu, sekejap berubah menjadi titik nyaman.
Tetapi, keabadian yang aku harap segera sirna, tatkala aku melihat kedua kelopak matanya yang larut dalam rasa kantuk, walau ia berupaya tetap terjaga. Setelah membujuknya dengan mengatakan bahwa cafe yang menjadi arena kita dalam menemukan kembali rasa nyaman tersebut akan tutup, kita berdua bergegas pulang. Pada keheningan kota Malang yang menyerah oleh dinginnya angin malam, tak ditemui lagi kebekuan dalam diri kita berdua, melainkan kehangatan yang terjalin dengan canda tawa dan rayuan.
Selanjutnya, aku dan ia memutari kota Malang menuju arah pulang, hanya berkeliling tanpa mampir, yang barangkali, terpatri pula selanjutnya pada hubungan kami berdua yang tak pernah bermuara kembali seperti semula, dan aku merestui itu terjadi begitu saja. Bukan tanpa sebab, melainkan aku menyadari bahwa ia telah memiliki kekasih di luar sana, barangkali sosok itu lebih baik dariku, pikirku. Gejolak ini aku pelihara hingga dari kita berdua telah meninggalkan kota Malang dengan jalanan yang menjadi saksi bisu rasa puas kita berdua dalam menuntaskan rindu. Walau, harus aku akui bahwa kenangan pada perjumpaan itu masih termaktub hingga kini. Sialnya, ia tak pernah benar-benar pergi, meski sekedar dalam ingatan yang rapuh ini.
_____
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.