SekitarJatim.com – Sebelum pemirsa terheran-heran dengan pertanyaan tersebut, pertanyaan itu muncul semalam sebelum saya menulis artikel ini. Tepatnya saat ada diskusi ushul fiqh di pondok sebelah, saya menjadi pemateri dan saya pula yang mengajukan pertanyaan tersebut pada audien. Persoalannya sederhana, ketika itu topik yang saya bicarakan dan teman-teman adalah ushul fiqh yang mana ushul fiqh adalah alat atau metode untuk mengekstraksi hukum dari sumber-sumbernya seperti Al-Qur’an dan hadis.
Al-Qur’an dalam konsep ilmu ushul berperan sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam yang tentu juga akan berfungsi sebagai petunjuk atau hudan li an-nas (petunjuk bagi manusia). Sesuatu yang menuntun, mengarahkan, dan membimbing manusia ke jalan kebaikan dan keselamatan dalam hidupnya.
Antara Al-Qur’an, fiqih, dan ushul fiqh mempunyai keterkaitan yang berkesinambungan. Bila digambarkan, Al-Qur’an adalah “barang mentah” yang akan diolah melalui alat atau metode bernama ushul fiqh sehingga menjadi produk jadi bernama fiqih yang berisikan sekumpulan hukum-hukum syari’at. Hukum-hukum dalam fiqih tidak serta-merta lahir tanpa ada suatu proses yang melatarbelakanginya sehingga itu bisa diaplikasikan dalam hidup manusia. Proses “pengolahan” hukum dari sumbernya (al-Qur’an, hadis, ijma’, dan sebagainya) terjadi dalam ushul fiqh dengan menggunakan sekian kaidah yang ada di dalamnya. Begitu kira-kira gambaran sederhananya.
Fiqih yang merupakan produk jadi yang dilahirkan dari Al-Qur’an beserta sumber-sumber lainnya melalui proses dalam ushul fiqh itu kemudian menjadi kepanjangan tangan dari Al-Qur’an sebagai sesuatu yang menerangkan pada manusia mana jalan yang benar dan salah dalam hidup mereka. Lantas persoalannya adalah, ketika Al-Qur’an yang berfungsi salah satunya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li an-nas) masih memerlukan seperangkat metode atau alat yang disebut ushul fiqh, tidakkah Al-Qur’an ini menjadi kurang efisien sebagai petunjuk bagi manusia? Bahkan mungkin lebih efisien fiqih daripada Al-Qur’an itu sendiri.
Oke, mungkin ada pemirsa yang emosi mendengar pertanyaan dan pernyataan tersebut, tapi tunggu, tahan, baca dulu sampai selesai.
Ya, muncul kesan bahwa Al-Qur’an tidak atau kurang efisien karena masih memerlukan tenaga atau alat tambahan lain untuk memahaminya sebagai sebuah petunjuk hidup untuk manusia. Bagi orang-orang di zaman super modern seperti sekarang, sesuatu akan dilihat dari dua hal antara efektifitas dan efisiensinya. Efektif artinya tepat sasaran, sementara efisien itu mudah dan tidak memerlukan banyak tenaga dan biaya. Tapi bagaimana dengan Al-Qur’an tadi yang masih memerlukan upaya lain seperti ushul fiqh agar dapat sampai menjadi tuntunan umat manusia, belum lagi perlu ilmu nahwu dan shorof untuk memahami arti bacaannya, bukankah itu sudah menjadi tidak efisien? Efektif iya, tapi efisienkah itu?
Sampai di sini, apakah iya sebagai orang Islam kita akan mengiyakan bulat-bulat pandangan tersebut? Mengkonotasikan Al-Qur’an kepada hal yang negatif? Al-Qur’an tidak efisien, serius? Saya pun yang mengajukan pertanyaan masih berpikir banyak kali untuk mencari opini tandingan yang dapat mereduksi kesan ketidakefisienan Al-Qur’an tadi. Ketika diskusi pun teman-teman mengajukan banyak opini mulai dari bahwa teks Al-Qur’an itu umum (ijmal) sehingga perlu sesuatu untuk memahaminya dan menspesifikkan. Semakin menyebutkan bahwa butuh sekian ilmu untuk dapat memahami Al-Qur’an maka semakin kuat pula kesan ketidakefisienannya bukan?
Atau mungkin ushul fiqihnya yang tidak dibutuhkan atau perlu dihapuskan sebab hanya membawa kesan negatif pada Al-Qur’an? Tapi apa iya bisa langsung kembali begitu saja pada Al-Qur’an? Tentu tidak. Ketika kita berfiqih atau mencetuskan hukum dari sesuatu meskipun itu ala logika kita sendiri dan tidak mengikuti kaidah ushul yang ada, maka paling tidak kita sudah secara otomatis ber ushul fiqh dengan sendirinya meskipun itu dengan cara kita sendiri. Jadi tidak bisa ushul fiqihnya yang dibuang untuk mengurangi kesan ketidakefisienan Al-Qur’an. Ushul fiqh tetap penting. Lalu apakah kita akan menerima kesan ketidakefisienan itu?
Kenapa dulu tidak dibuat efisien saja Al-Qur’an seperti halnya fiqih sehingga orang-orang bisa dengan mudah mencari hukum dari suatu hal tanpa harus melewati proses tambahan seperti ushul fiqh? Begitu pertanyaan lanjutan yang terbesit dalam benak saya. Tapi itu tentu mustahil karena waktu telah lama berlalu. Maka jalan satu-satunya adalah kita mencari opini lain yang bisa meredam kesan ketidakefisienan Al-Qur’an atau mungkin kita menerima dan setuju saja atas kesan bahwa Al-Qur’an memang kurang efisien.
Pada akhirnya setelah memutar otak berulang kali, saya pun menyerah dengan cara mengiyakan dan menerima bahwa memang muncul kesan bahwa Al-Qur’an itu tidak efisien sebagai petunjuk bagi manusia karena masih membutuhkan tenaga atau alat lain untuk memahaminya. Bahasa gampangnya, Al-Qur’an terlalu ribet dan rumit untuk ditelan mentah-mentah. Meskipun saya menerima pendapat itu, tapi saya punya alasan lain mengapa ketidakefisienan Al-Qur’an ini lebih baik daripada jika Al-Qur’an dijadikan lebih efisien.
Pertama, sejumlah ilmu dalam Islam lahir dari Al-Qur’an dan menjadi alat atau media untuk memahami artinya. Ada tafsir, nahwu, shorof, ushul fiqh, balaghah dan sebagainya yang menjadikan khazanah keilmuan Islam sangat kaya dan beraneka ragam. Semua ilmu itu tak lain muncul karena untuk memahami bahasa Al-Qur’an yang masih global. Karena keglobalan bahasa Al-Qur’an itulah lantas lahir banyak ilmu-ilmu dalam Islam yang artinya ilmu-ilmu itu lahir karena ketidakefisienan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu itu pun berkembang sangat dinamis mengikuti laju perubahan zaman. Jika Al-Qur’an itu efisien seperti halnya fiqih, atau kitab undang-undang lainnya yang bisa langsung pakai maka ilmu-ilmu tadi tentu tidak akan lahir dan khazanah keislaman menjadi sedikit dan sempit.
Kedua, jika Al-Qur’an itu efisien seperti halnya kitab undang-undang yang ada, maka teksnya menjadi mati dan tidak akan melahirkan peradaban Islam yang dinamis. Peradaban Islam akan stagnan karena jika Al-Qur’an diefisienkan, maka Al-Qur’an akan menjadi spesifik layaknya fiqih. Ketika teks itu spesifik, maka kemungkinan perkembangan peradaban yang dilahirkannya menjadi mandek karena terlalu diatur dan dikekang oleh teks yang spesifik dan efisien. Konsekuensi lainnya adalah teks tersebut akan mengalami banyak perubahan karena persoalan manusia senantiasa mengalami perubahan dari zaman ke zaman.
Jika demikian, maka Al-Qur’an menjadi tidak otentik karena selalu mengalami perubahan. Artinya, semakin efisien Al-Qur’an maka hal itu semakin mengikis otentisitasnya. Akan ada Al-Qur’an versi ke satu, ke dua, ke tiga, dan seterusnya seperti halnya undang-undang yang selalu berubah.
Karena ketidakefisienannya itu Al-qur’an lantas menjadi otentik dan tidak mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Fiqih selalu berubah karena memang mengikuti alur perkembangan zaman, namun Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam senantiasa terjaga keasliannya sejak dulu hingga sekarang dan bahan melahirkan produk hukum yang berupa fiqih yang bisa secara fleksibel sesuai dengan kondisi zaman dan tempat.
Inilah mengapa Al-Qur’an memang sengaja dibuat tidak efisien agar memberikan keluasan bagi manusia di manapun dan kapanpun untuk mereka jadikan petunjuk dalam hidup mereka. Pada akhirnya, ketidakefisienan Al-Qur’an itu menjadi bagian dari mukjizat Al-Qur’an yang menjadikannya lekang tanpa perubahan dari zaman ke zaman bahkan hingga nanti dan seterusnya.