7 Surat dalam Dua Musim

  • Bagikan
7 Surat dalam Dua Musim

TERAS eSJe – Aku terhanyut dalam keheningan malam yang didera oleh turunnya hujan yang membasahi bumi dengan istiqomah. Layar laptop masih menyala dan secangkir kopi yang masih panas. Aku mengenal dan memahaminya. Mengenalnya sebagai seorang perempuan yang baik dan ramah. Memahaminya sebagai entitas yang indah. Ia pribadi yang unik dan sederhana.

Aku berkenalan dengannya saat berkunjung ke suatu bazar buku. Dari caranya bersalaman dan bagaimana ia memakai kerudung, aku tahu bahwa ia termasuk perempuan yang tak mungkin kujadikan seorang pacar. Saat itu, selain membeli buku-buku, aku menyadari akan terdapat kisah baru. Setelah saling mengenal, aku putuskan menulis tujuh surat untuknya, kira-kira begini isinya.

Musim Hujan

1. (Tanpa Nama) 8 November 2024

Kerlipku, aku tak begitu mengerti mengapa engkau sangat menyukai suatu cerita yang kutulis saat bersamamu di suatu cafe di ujung jalan itu. Sebuah cerita tentang sepasang rusa. Rusa jantan yang malang nasibnya. Ia terlahir tak sempurna dengan tanduk yang berbeda dari kebanyakan rusa jantan yang lain. Ia terkucilkan dari kawanan. Ketika musim kawin tiba, saat rusa-rusa jantan merayu rusa betina dengan tanduk mereka yang perkasa, ia berkeliaran sendiri di padang ilalang.

Sedari tadi, di belakangnya terdengar langkah kaki seolah-olah sedang mengikuti. Ia menoleh dan melihat seekor rusa betina yang sedang pura-pura makan rumput. Rusa betina yang tercantik dalam kawanan itu, rusa betina yang paling diperebutkan saat musim kawin tiba. Rupanya, setiap kemalangan selalu dijumpai keberuntungan. Hingga akhirnya, kedua rusa itu menjalin hari-hari yang indah. Namun, ketika rusa betina sedang minum air sungai, ia terseret oleh moncong buaya, rusa jantan yang mengetahui itu, berupaya menyelamatkan dengan tanduknya yang tak sempurna. Tetapi, perjuangannya berakhir dengan percuma. Rusa jantan itu kini kembali terkucilkan dan sendiri.

BACA JUGA:  Kereta

2. (Tanpa Nama) 20 Desember 2024

Jingga senjaku, aku tak begitu mengerti kisah kita seperti apa, seperti Romeo dan Juliet kah? Seperti Aladdin dan Jasmine kah? Atau kisah yang baru? Detik-detik saat bersamamu, adalah waktu aku berada di bumi yang sedang berotasi lebih cepat daripada biasanya. Kelembutanmu, seperti alunan biola Farid Farjad. Dan sialnya, aku mendengarkannya sepanjang malam, selalu. Pergantian tahun akan segera terjadi, dan aku belum berjumpa denganmu. Maka, tiap siang hari aku akan berdiri di balkon, membiarkan hangatnya mentari menembus kulitku yang sinarnya sama saat menerpamu, sebab aku terlalu rindu padamu.

3. (Tanpa Nama) 10 Januari 2025

Waktu selalu berlalu di luar kendali kita. Tahun telah berganti menjadi baru. Aku menulis banyak puisi untukmu, dan kata-kata manis. Barangkali, merayumu adalah caraku dalam merayakan keindahan. Merah pipimu, senyum manismu, dan tawa kecilmu. Aku merayakan itu, cemaraku. Engkau tertawa saat kukatakan bahwa aku akan menjadi filsuf karena tak pernah mampu untuk menjelaskan mengapa betapa cantik dirimu. Aku seorang pembual ulung, katamu.

Dalam benakmu, engkau selalu bertanya-tanya, apakah tulisanku kukirim pula kepada perempuan lain. Api cemburu itu memancar saat suara ketusmu berkata, bahwa penyair adalah tak lebih dari seorang penggoda. Aku terdiam dan merasa senang, namun jika puisi adalah penafsiran akan keindahan. Maka, puisiku adalah sekedar upayaku dalam menafsirkan keindahanmu, walau tak pernah berhasil. Sebab, keindahanmu adalah definisi dari keindahan itu sendiri.

4. (Tanpa Nama) 24 Januari 2025

Aku ingin berada dalam ruang bacaku, dengan buku-buku yang angkuh. Lalu meraih secarik kertas, menulis kisah khayalku, bersamamu. Menari-nari di ruang tunggu. Atau, kita pergi ke perbukitan, melihat rembulan dan kunang-kunang. Akhir-akhir ini, aku terlalu banyak membaca buku, lima buku dalam seminggu. Tapi, aku selalu mengingatmu. Aku larut dalam penelitian. Dan bayang-bayangmu selalu mengusik kalbuku.

BACA JUGA:  Jalan Sunyi Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Nihilisme

5. (Tanpa Nama) 7 Februari 2025

Pada malam hari seusai hujan turun, sehingga nyala bulan membasuh genangan air di jalanan. Aku berjalan kaki di pinggiran kota. Menyaksikan orang-orang yang sedang mencari nafkah. Lalu-lalang jalanan, sebaris bangku di trotoar, memberi jeda sejenak bagi para ojek online itu. Beberapa di antara mereka sedang bersandar pada lelah, dan yang lain sedang memandang layar ponsel dengan penuh harap.

Namun, bukan orderan yang datang, melainkan notifikasi tagihan kebutuhan. Sudah dua hari aku tak makan, hanya minum air putih, uang di dompetku tersisa lima ribu. Aku membelinya, dua batang rokok. Satu untukku, dan satunya lagi untuk seorang tukang parkir yang kukenal. Ia tersenyum padaku, bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk mengerti apa itu hakikat hidup.

6. (Tanpa Nama) 8 Maret 2025

Kelopak anggrekku, dalam tulisanku tentang perempuan, engkau terkejut melihat caraku berpikir. Aku hanya berkata, ketika seorang perempuan bekerja dan sekaligus menjadi ibu, dunia seolah menempatkan perempuan sekedar menjadi komoditas, bagi pria dan juga sesamanya. Perempuan adalah makhluk mulia, pun sebelum dan sesudah ia menjadi seorang ibu. Dan engkau, aku selalu memuliakanmu, walau aku juga mencintaimu.

Musim Kemarau

7. (Tanpa Nama) 18 Juli 2025

Aku selalu tertawa, walau ada luka-luka. Aku selalu tersenyum, meski segalanya nampak abu-abu. Lantas engkau hadir sebagai obat dari segala rasa sakit. Daraku, aku ingin menjadi apapun, selama bisa kau sentuh. Aku selalu menunggumu, walau kau tak pernah datang. Mungkin, rasa sakit itu telah pudar, tetapi semenjak itu, ada bagian dari diriku yang terasa telah hilang. Engkau, seorang perempuan yang tak pernah membaca tulisanku.**

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *