Kereta

  • Bagikan
Kereta
Foto: Kereta Api dari dan ke Garut (phinterest/@catperku)

SekitarJatim.com – Pada suatu malam yang ganjil, aku turun dari kereta dengan membawa koper yang tanpa aku sadari itu bukan milikku. Entah takdir apa yang membuatku mengambil koper ini, tapi pada saat itu, tanpa sengaja aku melihat sepasang mata yang jelita, sembab memandang ke arah jendela.

Mata itu milik seorang perempuan yang aku pun tak tahu siapa namanya. Seperti ada yang mengganjal di pikirkannya, entah itu apa. Aku melihatnya dari bangku sebelah saat berada di kereta. Ia duduk bersama seorang perempuan lain yang sesekali mengajaknya berbicara.

Mereka tertawa, sesekali juga cekikikan. Mungkin itu temannya, tapi perempuan itu, ya matanya seperti menyimpan malam yang tak ada kekelaman paling dalam selain yang ada di sana.

Aku baru sadar bahwa ini bukan koperku ketika aku membaca sepucuk kertas yang terselip di antara gantungan pembuka resliting koper. Ada sebuah tulisan di sana, Naila. Akhirnya aku tersadar bahwa itu bukanlah koperku. Bentuk dan warna kopernya sama, berwarna biru muda.

Pada saat aku mengambilnya di kabin kereta, hanya itu satu-satunya koper yang tersisa dan aku pikir itu adalah koperku, tapi ternyata bukan. Aku sempat melihat perempuan itu juga menenteng koper dengan ukuran dan warna yang sama ketika turun dari kereta. Bisa jadi koper kita tertukar. Tapi karena keramaian, perempuan itu hilang ditelan lalu-lalang orang.

Aku mencarinya di antara bangku-bangku tunggu kereta, mungkin dia masih di sana menunggu kereta berikutnya. Aku duduk di sebalah ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya yang terlelap. Sambil lalu kusisirkan pandanganku, berharap perempuan tadi kutemui di antara keramaian orang. Kemudian ponselku berbunyi, ada seseorang yang hendak menghubungiku. Nama yang tak asing, muncul di layar ponselku.

Aku membiarkannya saja, ponselku berteriak seolah ingin menyampaikan kegelisahan yang datang dari seberang sana. Tapi tak ada yang ingin aku dengar dari dirinya, semuanya sudah cukup jelas sebelum aku tiba di stasiun Surabaya. Dering ponselku pada akhirnya terhenti.

Sejenak hening, namun tiba-tiba suara itu terdengar lagi. Biarkan saja, aku tak ingin lagi mendengar bualannya. Tiga kali sudah ponselku berdering dan akhirnya tak ada panggilan lagi.

BACA JUGA:  Wacana Penambahan Kursi Menteri dan PR yang Tak Usai

Namanya Sofia, kekasihku, dulunya. Setelah suatu alasan sepihak, ia memutus hubungan kita dan secara tiba-tiba bersanding dengan seorang lelaki putra kenalan ayahnya.

“Aku tahu ini mengejutkan bagimu, tapi bisa dengarkan dulu penjelasanku?” ucapnya ketika itu.

“Bukankan sudah pasti kau bukan milikku lagi meskipun penjelasan itu kudengar darimu?”

“Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, percayalah!” suaranya jelas terdengar sesenggukan meskipun dari ujung telepon.

Aku yang waktu itu sedang berada di dalam kereta, tak mau terlihat aneh di mata orang-orang hanya karena pertengkaran masalah cinta. Langsung kumasukan saja ponselku ke dalam tas.

“Maaf, aku sedang di kereta, di sini ramai dan tak perlu penjelasan panjang, aku sudah bisa menerimanya.” Sambil menghela napas panjang, aku mengakhiri pembicaraanku dengan Sofia. Masih terdengar samar-samar ia memanggil-manggil namaku dari seberang sana, sampai akhirnya suara itu tak lagi terdengar tanda panggilan telah berakhir.

Kusandarkan punggungku ke kursi kereta sambil mengumpat dalam hati meneriaki pepatah lelaki tak boleh bersedih. Lalu tanpa sadar, mata jelita itu, ya, mata perempuan itu, kulihat menatap kehampaan yang ada di luar jendela.

Sudah hampir setengah jam perempuan itu tidak terlihat batang hidungnya. Aku sempat khawatir takut saja koperku sudah jauh terbawa perempuan itu entah ke mana. Sampai akhirnya kulihat ada koper biru muda di samping seorang perempuan tak jauh dari tempat dudukku. Nah itu dia koperku.

Sigap saja, aku langsung menuju kepadanya. Ia berada di bangku tunggu sebelah rel lurus dengan deretan bangku tunggu yang baru saja aku duduki. Mataku tertuju padanya. Benar saja, itu perempuan yang kulihat tadi di kereta dan koper yang di sampingnya itu pasti koperku.

Ketika beranjak untuk berjalan ke arahnya, tanpa sengaja ia menoleh dan matanya tertuju kepadaku. Mata itu, ya seperti menyimpan malam yang tak ada kekelaman paling dalam selain yang ada di sana.

Tak lama adegan berpandangan itu terjadi, tiba-tiba ada kereta lewat yang memisahkan mata kita untuk saling berpandangan. Terpaksa aku harus mengambil jalan memutar untuk sampai di seberang karena ada kereta yang sedang berhenti menurunkan penumpang.

BACA JUGA:  Pelanggaran Hak Cipta: Kekerasan atau Perlindungan Ekonomi?

Ah tunggu dulu, wanita itu sedang beranjak dari tempatnya, sepertinya ia akan berpindah tempat duduk bersama teman perempuannya itu. Tangkas, aku mengikuti arahnya berjalan di balik kerumunan orang sambil lalu menjaga pandangan agar tidak kehilangan jejaknya.

Tidak jauh dari sana, perempuan itu duduk kembali di deretan bangku tunggu bersama sejumlah orang. Aku mengambil posisi di bangku belakang perempuan itu, agak menyerong sedikit dari tempat duduknya agar aku bisa benar-benar memastikan bahwa koper yang dibawanya adalah koperku.

Ia menyadari bahwa aku sedang menguntitnya. Ia terlihat gelisah sambil lalu membenarkan pakaian dan kerudungnya yang rasanya tidak ada yang benar-benar aneh dan salah. Sampai kemudian aku benar-benar yakin bahwa itu adalah koperku, kuberanikan diri untuk menghampirinya.

“Maaf mbak,” ucapku. Sepertinya aku mengagetkannya.

“Eh maaf mas, iya?” tanyanya padaku. Ia terlihat gugup.

“Begini mbak, sepertinya koper kita tertukar,” jelasku.

Benar saja, itu adalah koperku dan yang kubawa adalah koper miliknya. Naila, ah iya itu namanya, nama yang cukup mendesirkan perasaan ketika menyebutnya. Kemudian langsung kubawa koperku menuju kereta selanjutnya yang akan aku naiki.

Sejenak aku berpikir untuk menemui perempuan itu kembali, entah karena apa keinginan ini muncul, tapi ketika melihatnya tadi, ya mata itu, ah sudahlah mungkin ini hanya perasaan sejenak saja.

Aku tak bisa menahannya, secara spontan aku menolehkan kepala berharap masih melihat perempuan itu masih di sana. Tapi nihil, ia sudah tidak ada entah ke mana. Sudah tidak ada orang di situ dan hanya menyisakan kelebat saat mata kita bertemu tadinya. Baiklah, tidak ada yang perlu dilanjutkan kalau sudah begini, dan aku harus segera naik kereta berikutnya.

Tanpa disadari, perempuan itu ternyata ada di dalam gerbong yang sama denganku. Sejenak setelah memandang ke arah jendela, pandangannya tertuju ke arahku. Lagi-lagi, mata kita sedang beradu. Lihatlah mata itu, ya mata itu, seperti ingin menyampaikan sesuatu kepadaku.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *