Ketika Seorang Sosialis Mencari Arti

  • Bagikan
Ketika Seorang Sosialis Mencari Arti

“Mas….” katamu memanggil, dengan suara lembut dan ramah, serta pelan, sangat pelan, sampai-sampai mataku terbuka dengan pelan-pelan pula, terlihat dua bola mata bening, sebening telaga, atau bukan, itu seperti pemandangan yang kulihat di masa lampau, aku mengingat.

Seperti ranu kumbolo di pagi hari itu, danau yang memgembun, luar biasa, cantik sekali, atau dalam alismu itu yang jika diibaratkan adalah sebuah pohon, izinkan aku menjadi lumut pada akar-akarnya, yang hijau dan sejuk. Dan kemudian bibir itu tersenyum padaku, menyebalkan. Padahal engkau tahu aku menyukai rasa manis, tapi mengapa engkau tersenyum seperti itu, seperti secangkir kopi dengan 5 sendok gula. Manis sekali sampai aku merasa candu.

Maka, perkenankan aku merasakan rasa manis yang tak wajar itu di pagi hari. Lalu….bunyi alarm terdengar. Sial. Pemuda itu terbangun. Sudah seminggu penuh pemuda itu bermimpi sama, dengan orang yang sama, aneh. Ia beranjak. Menutup bunyi alarm di ponsel yang mengganggu, sekaligus melihat waktu. Pukul 10.28, pagi telah lewat. Maklum, kebiasaan membuatnya untuk tidur setelah menunaikan kewajiban waktu subuh.

Terdapat beberapa pesan dan panggilan telepon yang tak terjawab, pemuda itu tak menggubris, lalu mengawali harinya dengan meminum segelas air putih dan segera beranjak mandi. Setelahnya, ia memasak sayur sop dan membuat segelas kopi, panas dan manis.

Kemudian, sesudah mengerjakan rutinitas itu dengan tertib, ia baru membuka pesan-pesan dan melakukan panggilan kembali. Beberapa pesan berasal dari perempuan-perempuan yang ia dekati dengan puisi dan indera pendengaran. Perempuan begitu suka bicara, dan ia hanya butuh di simak dengan benar. Tetapi, dari sekian perempuan itu tak ada yang mengetuk perasaannya, atau memang perasaan itu telah tertutup oleh sesuatu?

BACA JUGA:  Jalan Sunyi Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Nihilisme

Pemuda itu kembali membalas pesan-pesan, terutama dari temannya yang sedang menanyakan perihal rapat tertentu yang akan dilakukan nanti malam. Dan ketika pemuda yang acap kali dipanggil kamerad hijau oleh orang-orang yang mengenalnya itu telah membalas pesan-pesan di ponsel. Kemudian kamerad hijau itu segera meraih buku yang belum dibaca dengan tuntas tadi malam, tentang demokrasi dan pemerintahan. Setelah menyelesaikan 100 halaman, ia sejenak rehat lalu membuka ponsel dengan melihat berita-berita yang terjadi di negara yang begitu kamerad hijau cintai.

Beberapa saat kemudian kamerad hijau itu merasa geram, ketika terlihat berita tentang masyarakat yang harus mengantri selama berjam-jam hanya untuk memperoleh gas elpiji akibat kebijakan pemerintah yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg. Lihat, betapa luwesnya pemerintah dalam menekan masyarakat menengah-kebawah, memperumit keadaan dengan peraturan-peraturan yang rumit pula, pada golongan masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai kerumitan itu sendiri.

Sejenak ia menghela nafas, mendengarkan musik lalu menutup ponsel, dan kemudian menyeruput segelas kopi yang telah dingin. Seketika itu, ia teringat dengan masa kecilnya yang seringkali diajak oleh sang kakek atau kadang-kadang dengan ayahnya untuk pergi ke pasar. Melihat pemandangan kehidupan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa, bertemu dengan orang-orang pasar yang selalu penuh humor walau mempunyai hutang yang menumpuk dan pikiran-pikiran tentang bagaimana cara bertahan hidup dengan keuntungan yang tak pernah tetap.

Kamerad hijau tersenyum mengingat itu, pengalaman yang membahagiakan, baginya. Dan karena itu pula, ia seringkali cepat akrab dengan orang-orang pasar yang baru ditemuinya, dengan pedagang-pedagang kecil, ataupun tukang becak. Sebab ia berasal dari kelas masyarakat seperti itu, dan ketika ia mendapat keberuntungan untuk mengenyam pendidikan yang layak. Ia mulai mengerti bahwa keadaan semacam itu terdapat pengaruh dari pejabat pemerintah yang tidak memiliki orientasi keadilan.

BACA JUGA:  Kereta

Kemudian karena realitas yang tidak sesuai dengan apa yang ia pelajari di bangku perkuliahan, ia menerjunkan diri pada aktivisme, sehingga ia mendapat nama panggilan sebagai kamerad hijau. Ketika pemuda-pemuda seusianya sibuk bercinta dan dengan terburu-buru meraih kemapanan, sehingga ia acapkali dianggap seperti serigala tanpa kawanan dan seorang pemuda anti kemapanan, ia tak bergeming dan justru larut dalam renungan tentang masyarakat ideal. Sebab, baginya kemapanan adalah ketika telah merasa cukup dengan segala keadaan. Kamerad hijau tak punya pilihan lain, selain membuka laptop dan kemudian beranjak memulai menulis pikiran-pikirannya. Ide-ide yang mengendap dalam dirinya, kadang-kadang dianggap terlalu utopis bagi sebagian orang yang membacanya.

Kemustahilan, barangkali kata yang tepat untuk mencerminkan renungannya selama ini, perihal kemungkinan keberadaan seorang pria yang telah meraih segalanya dalam hidup, dalam kekayaan dan kekuasaan, tetapi merasa cukup dengan satu wanita dan satu cinta. Tentang pejabat pemerintah yang berhenti bersikap seperti dewa di nirwana. Kadang-kadang, ia pun berpikir bahwa hal semacam itu tak masuk akal.

Rupanya, pemuda yang dipanggil sebagai kamerad hijau itu merupakan seorang pengkhayal yang buruk. Kemudian, ia mengambil wudlu’ dan menunaikan kewajiban, di antara bait-bait doa, ia bertanya-tanya pada Tuhan, apakah pikiran-pikirannya selama ini hanya akan terjadi dalam surga?

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *