SekitarJatim.com – Daun-daunan berguguran dalam nestapanya di jalanan. Angin berhembus dengan sejuk, menyapa orang-orang yang lalu-lalang memburu waktu, termasuk Qirun yang tak luput dari hembusan angin pada sore itu. Ia menikmati betul hembusan angin yang secara (tidak langsung) menyeka keringat dalam tubuhnya, dalam kaos partai yang ia kenakan, sekaligus kebanggaan yang ia rasakan ketika memakai kaos yang sudah bolong di bagian ketiaknya itu.
Sebagai tukang becak, biasanya Qirun menunggu penumpang di Pasar, Pegadaian, dan Stasiun kereta. Ia pula telah mempunyai beberapa langganan tetap. Kebanyakan adalah orang-orang yang mengenalnya sedari lama.
Untuk masa kini, ia lebih banyak tidur, daripada mengayuh becak, sebab persaingan di dunia transportasi yang semakin modern, mengarah ke alam digital. Tentu perkembangan yang dinamis tersebut, luput untuk diikuti oleh orang-orang seperti Qirun.
Beberapa kawannya kebanyakan telah beralih profesi, sebab tak ada lagi yang menjanjikan dari mengayuh sebuah becak. Qirun pun sering berpikir seperti itu, akan tetapi keteguhannya sebagai tukang becak, seakan-akan menahannya untuk berganti profesi. Ia tetap mengayuh becak dikala becak-becak lainnya telah memakai mesin sebagai penggeraknya.
Ia mengayuh becaknya seperti halnya dua perbedaan yang menyatu dalam kesatuan. Qirun dan becaknya sudah saling mengenal selama 38 tahun lima puluh hari. Ia (Qirun) memulai mengenal becak, ketika ia merasa putus asa terhadap nasib hidupnya yang pahit. Pada saat itu, Qirun mencoba mendaftar dalam kesatuan polisi, meski ia atau orang tuanya tak mempunyai sebidang sawah.
Tentu saja, hasilnya ia tak lolos dalam pendaftaran itu. Ia menyerah. Yang dimiliki oleh Qirun hanya betis dan urat yang kuat dan kokoh. Maka, semenjak penolakan itu, Qirun memutuskan untuk menyerahkan segenap dirinya sebagai tukang becak. Daripada menjadi penganggur, yang hidupnya hanya makan dan tidur.
Qirun mempunyai dua anak yang hidup bersumber dari penghasilannya sebagai tukang becak. Serta istri yang selalu bersyukur terhadap peran sosial yang Qirun lakukan. Barangkali, salah satu hal yang Qirun syukuri dalam hidup adalah istrinya itu. Bagaimana tidak, adanya seorang perempuan yang mau diperistri oleh Qirun, pun merupakan suatu karunia. Mencari istri di zaman ini, bagi tukang becak adalah hal yang rumit. Apakah masih ada perempuan yang rela menikah dengan pria yang belum mapan? Atau bahkan mustahil untuk menjadi mapan?
Sore itu, Qirun pulang ke rumah membawa penghasilan yang hanya cukup untuk makan malam dan sarapan pada esok pagi bagi kedua anak dan istrinya yang ikhlas itu. Qirun tak kebagian dalam menikmati jerih payahnya sendiri, sebab tak cukup. Maka dari itu, sebagai penanggung jawab kebutuhan keluarga, ia memilih untuk berpuasa. Ia akan bersahur dengan segelas air putih, dan berbuka puasa dengan makan nasi dan lauk kerupuk.
Qirun cukup sering berpuasa sebagai metode dalam mempertahankan keberlangsungan hidup sebagai tukang becak. Hal ini yang membuat tubuhnya kurus kering bagaikan ranting. Mengayuh becak memang membutuhkan energi, akan tetapi kedua anaknya juga butuh biaya sekolah. Atau setidaknya bercita-cita.
Dalam lemarinya, cukup banyak kaos partai yang berjejer-jejer secara rapi. Partai yang berbeda-beda pula. Dalam kaos partai yang dimiliki oleh Qirun tersebut, tertera nama-nama atau foto seseorang yang tak dikenal oleh Qirun. Bahkan tak sekalipun pernah naik becak yang dikayuh oleh Qirun.
Dalam setiap gelaran politik, biasanya Qirun akan menerima beberapa kaos yang diberikan oleh seseorang yang merasa mewakili aspirasi orang-orang seperti Qirun, walau tak mengenal, maupun sekedar berbincang pun tak pernah.
Kaos-kaos itulah yang akan meresap keringat Qirun saat mengayuh becak. Dalam bilik suara, Qirun akan memilih orang-orang terhormat itu dengan sesuka hati. Tak peduli pada pagi harinya, dalam bawah kolong pintu rumah Qirun, terdapat amplop-amplop yang berisikan uang, yang tak diketahui siapa pengirimnya, barangkali malaikat yag baik hati. Pikir Qirun. Dengan uang-uang dari amplop yang nominalnya melebihi pendapatan sebagai tukang becak dalam seminggu itu, ia dan keluarganya akan makan daging sapi, lalu membeli sepasang sepatu baru bagi kedua anaknya.
Tiap kali setelah berjalan keluar dari dalam bilik suara, dengan kantong celana yang berisi uang dari amplop-amplop misterius itu, Qirun merasa bagai manusia yang terlahir kembali sebagai pribadi yang cukup. Pada hari itu pula ia akan libur mengayuh becak, sebab ia akan pergi ke Pasar, membeli sekilo daging sapi dan sepasang sepatu baru. Dan pada hari itu pula, Qirun tidur pulas dengan perut yang kenyang.
Toh, setelah orang-orang yang ia coblos itu, ketika telah terpilih duduk di Parlemen takkan mendatangi pangkalan becak lagi, atau bahkan membagikan kaos seperti dulu kala pun tidak, bahkan, saat Qirun sedang mengayuh becaknya di jalanan, seringkali iring-iringan mobil orang-orang yang foto dan namanya berada di kaos partai yang Qirun kenakan, menyalip dengan sesuka hati.
Seringkali, Qirun berpikir bahwa apakah ia bisa menjadi seperti mereka, yang Qirun sebut dengan juragan-juragan itu, fotonya yang dipajang dipinggir di jalan itu. Tersenyum dan Bucit. Andai jika terjadi demikian, maka akan membuat banyak orang merasa takjub padanya. Seorang tukang becak di Parlemen. Andai.