SekitarJatim.com – Selepas lewat masjid Blimbing, aku melihat sebuah ambulan melesat cepat coba menandingi maut. Sopirnya seperti kelayapan takut sewaktu-waktu malaikat lebih dahulu datang daripada pertolongan dokter. Sirinenya berbunyi memekakkan telinga. Juga lampunya yang berwarna merah-biru selalu kelap-kelip nyentrong mataku yang diterpa air hujan. Untung saja ketika itu jalanan tidak begitu ramai sehingga aku bisa berkendara dengan tenang.
Seketika aku teringat bahwa kau sudah milik orang lain. Ah, lebih tepatnya aku ketikung sebelum sempat menyatakan isi hatiku padamu. Bayang-bayang penyesalan sering menghantuiku tak kenal waktu kenapa tak ku tembak dari dulu saja dirimu. Ya, seperti di saat itu ketika aku sedang berada di atas sepeda dan ada ambulan lewat tanpa sengaja. Sambil menghalau air hujan yang merembes ke mukaku, sembari itu pula aku mencoba fokus berkendara dengan cara berusaha melupakanmu. Ah, cinta memang datang tidak pernah tepat waktu.
Sebenarnya aku agak khawatir untuk mempercepat laju sepeda. Tapi karena teman sudah menunggu di terminal sedari tadi, maka kutancap saja gas sambil noleh spion kanan-kiri takut tiba-tiba malaikat maut menjelma mobil nyasar dan merenggut nyawaku dengan cara tragis.
Setiba di kampus, aku linglung. Ada dua hal yang lengket di otakku. Antara ambulan yang kutemui tadi dan bayang-bayang wajahmu. Aku masih kepikiran. Padahal aku sudah sempat tidur setelah menjemput teman tadi. Tapi ambulan dan dirimu kembali terlintas di otakku. Entah, pertanda apa ini. Apakah ada kaitannya antara kau dan ambulan itu atau mungkin itu isyarat yang buruk entah buatmu atau diriku sendiri? Aduh, siang ini membingungkan sekali.
Sambil lalu menghilangkan kelebat ingatan tadi, aku berjalan melewati trotoar depan fakultas dan langsung melenggang masuk. Di sana lumayan sepi dan hanya ada sedikit orang. Betul saja, kampus masih dalam masa-masa liburan semester.
Aku duduk sejenak di lobi fakultas, kembali berusaha menghilangkan kelebat ingatan tadi. Ambulan itu perlahan hilang dari otakku. Mungkin hanya bunyi sirinenya saja yang masih sedikit tersisa. Tapi bayang wajahmu tetap saja tak bisa hilang. Silau rasanya otakku memikirkanmu. Ketika aku semakin keras berusaha menghilangkan ingatan tengangmu, kau semakin hadir dan memaksaku nostalgia tentang beberapa pertemuan kita. Terutama pertemuan kita beberapa bulan lalu.
Dulu kau begitu cuek padaku, tapi entah, setelah punya pacar kau malah makin suka menyapaku. Apa kau sudah tidak kerasan dengan pacarmu? Atau kau sedang ngambekan dengan dia? Ya, aku harap begitu agar kau akhirnya bisa putus dan jadilah pacarku. Tapi rasanya tidak, semakin kau kerap menyapaku ketika berpapasan, semakin rajin pula kau memposting status bersama pacarmu yang sekarang itu. Harapanku bahwa kau akan mengakhiri hubungan dengannya dan beralih padaku pun sirna. Aku seperti merasa diolok-olok oleh statusmu itu. Ah, kau pandai sekali buat orang ngarep dan ngayal.
Tapi kangenku padamu semakin membara, padahal aku sudah tahu kau sudah punya pacar. Tapi entah ada apa denganku ini. Apa mungkin ini isyarat tuhan untukku agar tidak menyerah mendapatkanmu? Ah, aku jadi makin bingung. Ditambah lagi pada suatu hari ketika kita bertemu saat ada acara foto bareng taman-teman kelas, kau seperti sedang ngode padaku agar aku merayumu.
Biasanya kau tidak akan memulai percakapan duluan, tapi belakangan ini, sejak kau punya pacar, kau lebih sering memulai percakapan daripada aku. Tapi ketika itu, percakapanmu denganku terlalu berkesan. Secara tiba-tiba kau bilang padaku kalau aku lebih tampan dengan potongan rambut baruku. Memang, beberapa hari sebelumnya aku habis potong rambut. Ya, kau mengucapkannya di tengah kerumunan teman-teman kelas.
“Kamu kalo gitu ganteng,” tukasmu kala itu. Telingaku mekar seketika setelah mendegarnya. Sebelum-sebelumnya Tak pernah kudengar kau memujiku. Selama ini aku yang selalu memujimu karena memang aku suka padamu. Tapi kala itu, kau yang memujiku duluan. Ah, pertanda apa ini, batinku.
Pikiranku kacau tak karuan mendengar ucapan itu darimu. Dag dig dug aku kala itu. Aku hampir salting di hadapanmu. Tapi karena aku lelaki, lebih-lebih banyak orang ketika itu, maka kucoba menenangkan diri dan berpikir harus aku balas dengan ucapan apa pujianmu tadi itu.
“Kamu juga cantik kok.” Tegasku langsung sembari ngempet perasaan betapa bahagianya dipuji olehmu. Untung telingaku belum sepenuhnya memerah dan aku pun tahu kau paling tidak kuat dipuji di hadapan orang banyak. Aku mencoba membalasmu yang telah membuat diriku hampir salah tingkah. Tapi ternyata kau tidak terlihat malu sedikitpun. Biasanya ketika aku memujimu di hadapan teman-teman, kau akan tolah-toleh dan akan kelihatan salting, tapi ketika itu tidak. Apa kau sudah mulai terbiasa dan mencoba menyukaiku dengan tegar? Apa kau sudah merasa tak nyaman dengan pacarmu yang sekarang dan ingin pindah hati padaku lalu kau ngode-ngode dengan cara bilang aku ganteng agar aku terpikat dan merayumu? Ah, mungkin ini hanya khayalanku saja.
Aku pulang dari kampus dengan berita yang tidak enak didengar telinga. Aku tak bisa memperjuangkan satu mata kuliah yang seharusnya bisa aku ulang semester ini. Pak Dosen bilang bahwa ada perubahan kurikulum yang menyebabkan mata kuliah itu tidak akan dipasarkan. Sedih dan takut rasanya. Sedih karena sudah banyak teman yang akan segera lulus duluan dan takut akan omelan orang tua ketika mendengar berita buruk ini.
Aku memacu sepeda menuju kontrakan dengan pikiran yang tambah kacau. Setelah ambulan itu mulai hilang dari otakku sementara pikiran tentangmu masih saja belum hilang, eh pikiran baru tentang masa depan kuliah datang menindih otakku saja. Ditambah lagi kenyataan bahwa kau sebentar lagi akan sidang skripsi dan sudah pasti akan pulang kampung, lalu harus kukemanakan bila rindu datang begitu saja setelah kau pergi? Aku tak bisa fokus.
Terus saja ku tancap gas dengan segenap beban pikiran. Tak tahu dan tak sadar bagaimana keadaan sekitar. Aku seperti kesurupan dan mati rasa. Aku seolah tidak merasa sedang ada di atas sepeda motor. Sampai tiba-tiba ada sesuatu yang teramat besar menabrakku dari arah belakang. Aku terperanjat dan kesadaranku muncul sejenak lalu hilang setelah mendengar ada banyak bunyi klakson kendaraan. Kepalaku sakit dan seperti ada yang menindih di atasnya. Mataku kunang-kunang, seluruh tubuhku nyeri tak terelakan sampai akhirnya hitam, gelap, aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun dengan ingatan yang sedikit aneh. Aku tak lagi bersikeras mengingatmu, juga aku tak begitu kepikiran dengan kuliahku yang amburadul. Wajahmu hilang sepenuhnya dari kepalaku. Begitu juga soal kuliahku. Ah, tapi ada satu hal yang seperti kembali lagi ke otakku. Ah iya, itu bunyi sirine ambulan. Bunyi itu semakin keras ku dengar. Kali ini bukan hanya dari dalam otak tapi juga dari kedua telingaku. Semakin jelas saja bunyi ambulan itu kudengar. Sampai akhirnya mataku terbuka sedikit demi sedikit dan aku sadar, ini bukan ingatan tentang ambulan, ini kenyataan! Ya, tubuhku sedang berada di dalam ambulan yang melaju kencang di jalanan. Cepat, cepat sekali, melesat, seolah tak mau terlambat, atau nyawaku akan ditilang malaikat.
_____
*M. Fakhruddin Al-Razi (Ozik Ole-Olang) adalah Pemuda rantau asal Madura. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Aku Menunggumu sampai Senja dan Kereta Lewat Begitu Saja (2018).