Hujan Pengantar Kematian
Setiap kali sebelum ada orang mati, hujan akan turun di kota itu. Deras sekali, bahkan sampai seharian. Sehingga prosesi pemakaman tidak boleh tidak harus ditunda.
Seperti di siang bolong waktu itu. Tiba-tiba hujan turun tanpa sebab. Mendung datang seketika. Beriringan dari arah timur seakan membawa kabar buruk. Bertumpuk di atas langit-langit kota. Kemudian basah, jalan raya tergenang air.
Setelah beberapa saat hujan terus mendera kota itu, sayup-sayup dari sebuah rumah dekat terminal terdengar kabar duka. Ada sepasang pengantin sedang berkabung. Mempelai lelaki ditemukan tewas setelah membaca akad nikah. Ada sebutir peluru melesat ke dahinya.
Dua hari kemudian hujan turun lagi. Kali ini giliran keluarga bapak wali kota yang berduka. Putra semata wayangnya ditemukan tergeletak di ruang tamu setelah menenggak dua botol minuman keras. Matanya melotot, mulutnya penuh dengan busa.
Tiga hari kemudian, lagi-lagi mendung datang. Seketika menyelimuti langit-langit kota. Aku, ya, aku bersiap-siap turun ke bumi bersama hujan dengan membawa daftar nama-nama yang akan kucabut nyawanya.
Surat dari Diana
Namanya Diana. Dialah perempuan yang selama ini kucari sampai ke ujung dunia. Sampai akhirnya aku tiba di sebuah kota yang entah letaknya di mana aku juga tak tahu. Awalnya aku hanya mengikuti setiap bus yang lewat dan aku akan berhenti di halte selanjutnya. Kemudian aku akan kembali naik bus di halte kota berikutnya.
“Aku tidak mencintaimu,” ucapnya di suatu hari.
“Tapi aku hanya ingin bertemu denganmu, tak lebih!”
“Kau sudah bertemu denganku sekarang. Sudah, kau boleh pergi.”
Setidaknya, begitulah kutipan percakapan terakhir kami saat kutemui dia di samping mall. aku menemuinya sedang berjalan bersama seorang lelaki yang sempat kukira dia adalah pacarnya. Tapi ternyata dia itu bapaknya. Setelah itu, kami tidak pernah bertemu lagi, dan aku terus mencari Diana.
Sampai kemudian aku mendapat sebuah surat yang bertuliskan namanya, aku memulai perjalanan ini. Ya, perjalanan mencari Diana. Awalnya aku tidak percaya bahwa surat itu dari Diana, tapi kemudian aku mencoba mengikuti setiap instruksi yang ada di surat itu. Barangkali nanti aku bisa menemukan Diana di suatu tempat.
Di surat itu tertulis: “Bila kau masih merindukanku dan ingin bertemu denganku lagi, ikutilah apa-apa yang tertera dalam surat ini.” Isi suratnya sangat singkat dan hanya menyisakan petunjuk yang sangat mencurigakan. Tapi karena di surat itu tertera atas nama Diana, ya kuikuti saja.
Langkah pertama. Aku diminta untuk pergi ke suatu kota dan mendatangi tempat tertentu. Entah itu pohon, stasiun, alun-alun, atau bahkan pemakaman umum. Kemudian di sana aku akan menemui surat dari Diana yang berisi sebuah petunjuk yang akan membawaku menuju surat-surat lain yang dia tulis. Satu kota untuk satu surat yang akan berisi satu nama kota yang harus kukunjungi untuk menemukan surat lainnya.
Semacam permainan petunjuk arah. Satu surat akan menunjukkan letak (kota) surat lainnya. Persis seperti apa yang kukatakan tadi. Entah apa yang diinginkan oleh Diana aku tak mengerti, aku hanya mengikutinya.
Bertahun-tahun, sudah 100 surat kudapat dari Diana dan sudah sebilangan itu pula kota-kota kujelajahi. Sampai pada akhirnya surat terakhir aku dapatkan dan aku tak lagi mencari Diana.
Di surat itu tertulis: “Sebenarnya, di setiap kota yang kaukunjungi untuk mengambil surat-surat dariku, aku juga sedang berada di sana. Bahkan aku juga melihat dirimu. Bahkan pula ketika kau mengambil dan membaca surat-surat itu, aku juga melihatmu. Tapi maaf aku belum bisa menemuimu waktu itu. Namun bila kau tetap memaksa dan masih ingin bertemu denganku, tak apa. Akan kuberi tahu petunjuknya. Ada satu kota lagi yang harus kau kunjungi. Tapi kota ini tak ada di peta. Aku pun tak tahu apa nama kota ini. Bahkan di peta paling lengkap macam Google map pun kota ini masih belum ada. Untuk bisa sampai ke kota ini kau harus mati terlebih dahulu. Ya, di sana kau bisa menemuiku. Aku berjanji. Bahkan kau bisa berbulan madu denganku sepuasnya. Aku tidak menuntut kau harus mati dalam keadaan tertentu. Kau bebas memilih cara untuk mati. Apapun itu tekniknya. Tapi kusarankan lebih baik kau bunuh diri saja. Bagaimanupun caranya, intinya itu bunuh diri. Tapi ada satu hal yang sebelumnya harus kau penuhi. Ingat! Sebelum kau bunuh diri, pastikan sudah tidak ada orang yang bisa melihatmu ketika itu. Pastikan kau melakukannya sedirian tanpa bantuan orang lain, tentunya di tempat yang sepi. Dan waspada, jangan sampai ada yang mengikutimu. Agar ketika kau sampai di kota tempatku berada, kita bisa bertemu dan melepas rindu berdua, sepuasnya, leluasa, dan tanpa ada gangguan. Hanya kita berdua. Ya, kau dan aku.” From: Diana.
Selepas membaca surat itu, walau memang aku sangat merindukannya dan ingin bertemu dengannya, tapi itu syarat yang tidak mungkin bisa aku penuhi sekarang. Entah barangkali besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan. Maafkan aku Diana, masih ada banyak orang yang juga merindukanku saat ini. Tapi bila kau tetap memaksaku untuk dapat menemukanmu, kau bisa menghampiriku kapan saja. Aku akan menunggumu di setiap halte. Di setiap kota. Menunggu, berharap ada surat lanjutan darimu.
Perempuan Pembawa Kendi
Penduduk kampung masih banyak belum tahu dari mana asal perempuan yang selalu membawa kendi itu. Tapi menurut desas-desus dia adalah pengembara yang datang dari telaga Kautsar. Ya, telaga yang kelak menjadi sumber air satu-satunya di padang Makhsyar. Telaga yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang pasti masuk Surga menurut orang-orang yang beragama.
Tapi entah aku tidak melihat sama sekali aura Surga pada perempuan itu. Pakaiannya lusuh dengan bau yang sedikit pesing. Rambutnya tak karuan, kucel, bahkan sampai membentuk gumpalan-gumpalan. Ya, hampir mirip rambut yang terkena permen karet. Pada intinya kau tidak akan menemukan sisi surgawi pada tubuh perempuan itu. Walau begitu, aku tidak terlalu berburuk sangka juga kepadanya. Mungkin bisa saja dia adalah penghuni Surga yang kabur karena banyak hal yang tidak sesuai dengan impiannya. Aku tidak tahu.
Namun ada sesuatu yang aneh. Setiap kali perempuan itu membuka tutup kendinya, seperti ada aroma wewangian yang keluar dari sana. Hampir mirip bau parfum misik putih, sangat semerbak. Awalnya aku tidak percaya. Tapi setelah beberapa kali melihat dia membuka tutup kendinya, benar saja, dalam seketika akan tercium aroma wangi yang merebak ke mana-mana.
Ada satu orang yang bilang bahwa dalam kendinya itu terdapat air yang berasal dari telaga Kautsar. Seperti air-air suci lainnya, aku yakin aroma air di dunia tidaklah sama dengan air yang ada di telaga itu. Tapi buat apa perempuan itu membawa air telaga Kautsar ke dunia? Apa mungkin air itu bisa menghilangkan haus selama 100 tahun? Entahlah.
Kau tahu? Selain aku sering memperhatikan keseharian perempuan itu aku juga kerap memanggil-manggilnya. Seperti di siang itu saat aku mulai merasa lapar aku memanggilnya:
“Ibu, ibu. Perutku sudah lapar.” (*)