Sebab Engkau adalah Kisah

  • Bagikan
Sebab Engkau adalah kisah.
Foto; Ilustrasi.

SekitarJatim.com – Sudahkah engkau lihat permadani warna biru dan hijau tua itu, yang terbentang menyapa kakimu yang mungil, langkahmu yang tegar dan menjauh. Gadis itu, aku temui dalam suasana yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Tak seperti pertemuan dua hati yang lazim, kira-kira begitu ketika kenangan itu lewat, kenangan yang manis, pada saat-saat demonstrasi. Kelopak mata nona manis itu, aku memandangnya bagai tertusuk belati. Sebab, lirikannya yang anggun itu sebagian telah meruntuhkan kejantananku, takluk.

Ia meraih tanganku, mengajak berlari menjauh dari kerumunan, kala kondisi demonstran disiram gas air mata. Aku sendiri pun pada awalnya memang berniat untuk pulang, bukan sebagai pengecut, tapi rasanya aku berada dalam incaran intel-intel itu. Tulisanku, sehari setelah terbit, banyak pesan whatsapp dari seseorang yang tak kukenal, mengancam dan menghina. Tak satupun dari mereka berniat untuk membalas ide dengan ide, sebagaimana lumrah dunia intelektual. Toh, aku tak peduli dengan hal itu. Jika tulisanku direspon, berarti tulisanku berhasil, dan itu cukup membuatku merasa senang. 

Seperti puisi-puisi yang kutulis, untuk menggoda beberapa gadis. Jika gadis itu menyukainya, ada harapan di kemudian hari ia akan jatuh hati padaku, lalu pelan-pelan aku meninggalkannya, mencampakkannya, dalam keterasingan. Sebab, aku selalu merasa menjadi lelaki yang begitu sulit untuk dipahami. Oleh karena itu, kebersamaan dengan perempuan adalah suatu hal yang amat rumit bagi laki-laki sepertiku.

Setelah kami berada ditempat yang aman, lebih tepatnya berada pada halaman sebuah ruko yang barangkali tidak buka, ia menjulurkan tangannya yang mungil dan halus itu, dengan sebotol air minum. Langsung saja ku ambil dan minum sesegera mungkin, sebab beberapa jam sebelumnya memang tenggorokanku tak menerima sebutir air pun, kering dan gersang. Setelah itu, ia memperkenalkan diri, dengan sebuah nama yang cukup indah, bahasa sanskerta. Aku menduga ia berasal dari kota ini, dan tebakanku benar. 

BACA JUGA:  Pelanggaran Hak Cipta: Kekerasan atau Perlindungan Ekonomi?

Setelah saling memperkenalkan diri, aku rasa cukup bagiku untuk berterima kasih padanya, lalu beranjak segera pulang, menyelamatkan diri dari bayang-bayang intel yang penyamarannya tak terduga itu. Kepadanya, aku tak curiga bahwa ia seorang intel, karena ia manis, dan peduli. Adakah intel yang bersikap manis dan peduli pada mangsanya itu? Pikirku.

Setelah akan kukatakan kalimat pamit, ia menyadari bahwa aku akan pergi, ia meminta tolong padaku, dengan suaranya yang merdu dan benar-benar halus itu, ia mengajakku pergi ke sebuah cafe langganannya. Ia beralasan tak ingin pergi sendiri, dan tadi ia juga sudah berpencar dengan teman-temannya. Maka, kuberikan jawaban iya padanya, sebagai rasa balas jasanya padaku.

Setelah berada di cafe langganannya itu, kami mengobrol cukup panjang, berdiskusi dan bercerita. Kurasa ia gadis yang pintar. Selain manis dan pintar, ia juga ternyata cukup cerewet, beberapa kali ia mengomeliku, pada orang baru yang ia kenal, pada saat aku menggarpit rokokku terus-menerus, tak sehat katanya. Aku hanya tersenyum melihat omelannya itu, bukan karena perhatiannya padaku, tapi pada bibirnya yang manyun dan manis itu. Aku takluk.

Setelah hari menjelang sore, sekali lagi aku akan berpamitan untuk segera pulang, sebab setelah demonstrasi, kota mendadak menjadi hening, barangkali karena orang-orang sedang lelah, atau karena orang-orang tidak ingin ditangkap oleh intel.

Ia masih menahanku, “Antarkan aku pulang dulu ya, mas.” Katanya. Bagiku, mengantarkan seorang gadis ke pantai, atau ke bioskop, lebih mudah dan menyenangkan, daripada mengantarkannya pulang kerumahnya. Rumit dan pelik. Sebab, dalam konsep tradisional lingkungan rumahku, bertamu ke rumah gadis, berarti engkau bersedia menjadi menantu dirumah itu. 

BACA JUGA:  Pemkab Sampang Ekspor Perdana Rumput Laut Gracilaria, Buka Peluang Baru Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat

Oleh karena itu, ketika dekat dengan seorang gadis, ketika gadis itu menyuruhku untuk ke rumahnya atau bertemu orang tuanya, aku selalu tak mau. Tetapi kali ini terdapat pengecualian, karena suasana masih tak aman dari bayang-bayang intel, dan ia gadis yang baik. Segera kuantarkan ia pada kompleks yang cukup elit di kota itu, aku rasa ia orang kaya, batinku. Kami berhenti di depan pagar yang gagah dan mewah. Ia menyuruhku masuk, aku menurut saja sebagai tamu dan teman baru. Aku tak begitu merasa minder berada disana, dirumah seorang borjuis, menurutku, walau pada rumahnya yang besar dan bersih itu terdapat tamu seorang pemuda, demonstran yang lusuh. Meski dalam benak, timbul pertanyaan mengapa seorang borjuis sepertinya mengikuti aksi? Gadis yang menarik dan menantang.

Kemudian, waktu berlalu seperti ilalang yang tumbuh di padang savana, kami saling mengenal dan jatuh hati, menjadi kekasih. Tapi, tak ubahnya seperti pada pertama kali meminum kopi setelah demonstrasi, seenak apapun rasa kopi itu, atau dengan siapa kita meminum kopi, toh pada akhirnya secangkir kopi itu akan beranjak habis. Walau kini kita tak lagi bersama, jatuh cinta dan kenangan, dalam kurun waktu yang sebentar dengannya adalah suatu riwayat yang pernah ada. Sebab, ia adalah kisah. Ketika jatuh hati pada waktu demonstrasi. Ketika kejantanan seorang pemuda takluk pada keindahan duniawi. Engkau.***


***Klik tautan Google News dan dapatkan berita terkini serta informasi bermanfaat lainnya di perangkat Anda.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *