Teras EsJe – Belakangan ini, beredar seruan atau lebih tepatnya ajakan untuk “kabur aja dulu” yang menyebar di berbagai platform media sosial, suatu satir protes yang terlahir dari ungkapan rasa pesimisme masyarakat yang mendalam, seolah-olah Indonesia tidak layak lagi untuk dihuni, benarkah? Mungkin, kesabaran masyarakat telah melebihi batas kemampuan mereka dalam menghadapi rentetan kebijakan pemerintah yang dirasa tidak berpihak pada mereka. 100 hari pergantian kepemimpinan penyelenggara negara ternyata tidak membuahkan apa-apa selain serentetan masalah.
Peningkatan jumlah kabinet pemerintah berdampak pada peningkatan anggaran negara. Ditambah dengan sejumlah staf khusus pemerintah, yang terdiri dari para influencer dan sederet orang-orang yang berjasa dalam konstelasi politik. Di sisi lain, berbagai kebijakan publik menuai banyak protes. Seperti dalam pengangkatan prajurit aktif sebagai Direktur Utama BULOG, yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya dalam Pasal 7 ayat (1). Bahkan dalam ayat (2), yang menjelaskan lembaga sipil yang diperbolehkan di jabat oleh prajurit, BULOG tidak termasuk di dalamnya.
Hal ini beresiko, karena dalam negara demokrasi, kedaulatan sepenuhnya milik rakyat, bukan militer. Apalagi, negara ini mempunyai pengalaman buruk dengan otoritarianisme militer. Di samping itu, terjadi pemangkasan anggaran pendidikan dengan dalih efisiensi anggaran. Padahal, sebelumnya pun dengan anggaran pendidikan yang tersedia, berbagai masalah dalam bidang pendidikan masih belum terselesaikan. Mengingat bahwa pendidikan adalah ornamen penting untuk masyarakat, yang terkandung dalam amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu, manuver mendadak DPR dalam melakukan Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, dimana DPR mampu melakukan evaluasi berkala yang bisa berujung pemberhentian pejabat negara dalam lembaga negara seperti Hakim Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan Panglima TNI dan Kaporli, tak luput dari itu. Padahal, sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk mengevaluasi lembaga-lembaga diluar kapasitasnya sebagai legislator. Hal ini bisa dikatakan telah menyalahi kodrat.
Evaluasi berskala dirasa tidak sesuai dengan fungsi pengawasan yang dilakukan DPR, karena seharusnya DPR memerhatikan dengan hati-hati eksistensinya dalam “check and balances” dengan lembaga yudikatif dan eksekutif. Apalagi, keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai unsur peradilan yang netral dan sebaiknya tak terkontaminasi dengan politik, yang hal ini sesuai dengan perannya sebagai “the guardian of democracy”. Walau indeks penurunan demokrasi memiliki banyak faktor.
Kemudian, seperti yang telah dijelaskan pada poin-poin pembahasan sebelumnya, dan dengan mengacu pada pernyataan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya yang berjudul “How Democracies Die”, maka gejala kemerosotan demokrasi bisa terjadi melalui intervensi lembaga negara seperti badan intelijen dan lembaga peradilan.
Padahal, dalam buku terbitan ISEAS-Yusof Ishak Institute, yang membahas perihal penilaian atas situasi demokrasi yang terjadi di Indonesia, yang berjudul “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?”. Dimana dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sebetulnya Indonesia merupakan negara yang pernah memiliki kualitas demokrasi terbaik diantara negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut terjadi setelah runtuhnya orde baru pada tahun 1998. Akan tetapi, justru gejala penurunan kualitas demokrasi di Indonesia terjadi, saat ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017.
Dimana pada saat itu terjadi polarisasi ekstrem, yang memecah belah elemen masyarakat. Dan hal ini diperburuk dengan bermacam-macam bentuk kebijakan populis dari pemerintahan sebelumnya dan pemerintahan saat ini, yang implikasinya lebih menarik atensi masyarakat untuk kepentingan konstelasi politik yang terjadi pada tahun lalu dan cenderung bukan untuk kebutuhan masyarakat.
Kebijakan populis yang terjadi baru-baru ini adalah kebijakan pemerintah mengenai pelarangan pengecer gas elpiji. Tentu, kebijakan seperti itu mendapat penolakan dari masyarakat, sebab imbasnya masyarakat merasa dirugikan dengan kebijakan yang dibuat secara “asal-asalan” itu. Karena pemerintah merasa jika kebijakan itu dilanjutkan akan berpotensi memperoleh citra buruk dan protes keras dari masyarakat, maka pada akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan.
Tentu, masih terdapat kebijakan populis lain yang jauh dari kata “berpihak” pada masyarakat. Maka, tak mengherankan apabila seruan seperti “kabur aja dulu” muncul di permukaan. Namun, tinggal di luar negeri dan mendapat kesempatan hidup yang lebih layak, ataupun tetap tinggal di Indonesia dengan segala hal yang serba rumit, sebetulnya adalah persoalan perspektif. Bagaimanapun juga, demokrasi di negara ini perlu perbaikan, agar tidak sampai pada batas nihil dan demokrasi yang baik ialah ketika segalanya berjalan sesuai koridor hukum. Dan yang mampu melakukan itu semua, hanyalah masyarakat yang mencintai tanah air mereka. Sebab, perbaikan itu tak hanya ditujukan pada generasi saat ini, tetapi kepada juga generasi mendatang.
Kualitas demokrasi yang berjalan dengan baik, akan menciptakan persaingan politik menjadi sehat kembali, kebijakan yang tak lagi populis, dan lebih dari itu, tak ada lagi masyarakat dengan rintihan kepasrahannya, di depan seorang menteri, akan berkata “jangan ganggu kemiskinan kami.”***