(Kemungkinan) Demokrasi Dalam Todongan Senjata

  • Bagikan
(Kemungkinan) Demokrasi Dalam Todongan Senjata

Teras eSJe – Pengesahan UU-TNI yang dilakukan melalui sidang Paripurna pada hari Kamis tanggal 20 Maret, bila boleh dianalogikan, maka saya akan ibaratkan seperti seseorang yang dengan sengaja, kentut di depan muka anda, tidak sopan dan tidak beradab. Bukan bermaksud berlebihan saya mengatakan seperti itu, karena kenyataannya, memperlihatkan bahwa reformasi telah ditelanjangi setengah badan, sedangkan cita-cita demokrasi terkesan seperti cita-cita pelaut yang tak pernah melihat lautan.

Demokrasi sebagai koridor supremasi sipil, seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang tak penting. Padahal, demokrasi adalah suatu corong suara rakyat agar didengar, dan menjadi kebijakan. Tetapi, akhir-akhir ini, justru menunjukkan progresi yang berkebalikan dari konsep demokrasi itu sendiri.

Semula, RUU-TNI mendapat banyak protes dan penolakan dari publik, apalagi semenjak pembahasannya yang “ketahuan” dilakukan secara tertutup di sebuah hotel mewah. Dwifungsi militer yang menjadi momok menakutkan selama Orde Baru, rupa-rupanya telah bereinkarnasi menjadi UU-TNI. Tak ada alasan untuk menolak pernyataan semacam itu. Bagaimana tidak, bayangkan saja, perwira aktif kini diperbolehkan menempati belasan lembaga negara.

Padahal, sedari awal lembaga negara yang baru dicantumkan dalam UU-TNI, telah ditempati oleh elemen sipil. Lantas, apa urgensi disahkannya UU-TNI dalam waktu sekejap itu? apakah kualitas masyarakat sipil tidak kompeten dalam bertugas? Sehingga perwira aktif yang kini ditempatkan di lembaga negara yang sebelumnya diisi oleh sipil? Untuk menjawab hal ini, jujur saya tak tahu, mungkin malaikat pun juga tak tahu.

Tapi, izinkan saya untuk menjelaskan konsep demokrasi secara radikal, semurni-murninya. Demokrasi, tak begitu saja langsung terlahir dari ide seorang manusia, namun demokrasi terlahir sebagai proses politik akibat kemuakkan masyarakat sipil terhadap tiran dan feodalnya seorang raja. Dimana demokrasi mengusung kesetaraan hak antar sesama, siapapun. Seperti yang terlihat dalam bahasanya berasal, demokrasi adalah konsep yang bermula ketika para filsuf Yunani kuno berkumpul di suatu tempat yang bernama Agora, Athena. Untuk saling berdebat, menyampaikan ide-ide dan aspirasi, yang kemudian hal tersebut akan disampaikan kepada pemangku kebijakan untuk direalisasikan.

BACA JUGA:  Ketika Demokrasi Akan Layu dan Dinasti Politik Mulai Tumbuh

Maka dari itu, tak mengherankan apabila kantor-kantor pemerintahan selalu berada di pusat wilayah, atau berada di wilayah yang strategis dan mudah diakses oleh masyarakat sipil dari berbagai penjuru. Hal tersebut semata-mata untuk memudahkan masyarakat sipil mendatangi wakil mereka di pemerintahan, untuk menyampaikan keluhan, aspirasi, atau bahkan sekedar mendebat kebijakan bodoh yang sering kali mereka buat.

Tak hanya itu, jika mengacu pada pendapat Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka demokratis atau tidaknya, bisa dinilai melalui sekat yang terbentuk antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Semakin besar sekat pembatas itu, tentu semakin tak demokratis, dan sebaliknya. Seyogyanya, jika suatu kebijakan dari niatan hingga pengesahannya menjadi Undang-Undang terdapat indikasi untuk tidak berpihak pada masyarakat sipil, maka Undang-Undang itu dapat dinilai sebagai produk hukum yang tidak demokratis. Namun, seperti yang telah diketahui oleh khalayak umum, agaknya susah untuk berharap pada “mereka-mereka” untuk mengerti hal-hal seperti ini? Atau “mereka-mereka” pura-pura tak mengerti? Sebab “mereka-mereka” selalu bersikap seperti dewa dan kita, sebagai masyarakat sipil biasa, hanya bisa mengelus dada.

Dan, ketika kita sebagai masyarakat sipil merasa demokrasi yang kita jaga telah diusik, atau ketika kita sedang menuntut kembali nilai-nilai demokrasi yang telah kita anut, “mereka-mereka” bertindak tak demokratis dan represif, pengecut. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Medan, Surabaya, dan wilayah-wilayah yang lain, telah menjadi saksi sejarah bagaimana betapa buruknya akibat yang ditimbulkan dari pengesahan UU-TNI. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, bahwa kedaulatan tertinggi berada dalam genggaman rakyat, bukan militer.

BACA JUGA:  Tukang Becak dan Parlemen

Maka, maklumlah apabila berbagai elemen masyarakat sipil saling bersatu dan tumpah ruah di jalanan untuk melakukan protes dan penolakan terhadap pengesahan UU-TNI. Selain itu, dalam UU-TNI masih terdapat ketentuan bahwa perwira aktif yang menjabat dalam lembaga negara, jika tersangkut masalah hukum, tetap akan diadili di peradilan militer, bukan peradilan umum.

Tentu hal ini tidak sesuai dengan konsep hukum yang memandang bahwa tiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, hal ini juga telah diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Sementara itu, dalam Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945, dijelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah perihal pertahanan, dan hal ini justru bertentangan dengan UU-TNI yang memberikan kewenangan lebih kepada militer untuk menduduki jabatan sipil, sebagai administrator pemerintahan. Dan ketika UU-TNI masih menjadi bara api, begitu panas, dan sebentar lagi muncul bara api kedua yang bernama RUU-POLRI.

Mungkin, banyak orang yang merasa luput menyadari bahwa produk hukum yang dipaksakan, dan bukan sepenuhnya kehendak rakyat, seringkali disahkan pada saat bulan Ramadhan, seperti UU-TNI kali ini, dan UU Cipta Kerja sebelumnya. “Mereka”, adalah cobaan terberat setelah setan di kerangkeng. Memang benar demokrasi memiliki kelemahan, seperti kata Plato, demokrasi tidak berjalan baik ketika mayoritas sipilnya adalah orang bodoh. Tetapi kita bukanlah orang bodoh, yang menghendaki sesuatu yang bodoh. Sebab, kita menginginkan demokrasi tanpa perlu menunduk dalam todongan.**

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *