SekitarJatim.com – Penulis mengawali dengan kalimat “terkadang putusan pengadilan tidak dapat menyenangkan kehendak semua pihak. Namun bagaimanapun juga ada sebuah asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang berlaku bagi semua pihak,”.
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rangkaian Pemilu di Indonesia telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019, dan pada Tahun 2024 mendatang akan dilaksanakan Kembali Pemilu di Indonesia.
Perlu dipahami bahwasanya putusan mahkamah konstitusi itu bersifat final, berdasarkan amanat konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Serta juga yang perlu digaris bawahi yakni perguruan tinggi adalah Lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan Pendidikan dan pengajaran diatas perguruan tingkat menengah dan yang memberikan Pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara ilmiah.
Pada 15 Agustus 2023 yang lalu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023, memutuskan mengubah pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. MK menambahkan frasa pada pasal 280 Yakni frasanya “kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”. Karena sebelumnya masih ambiguitas mengenai syarat kampanye di fasilitas tersebut sebab dicantumkan di bagian penjelasan.
Dunia Pendidikan yang modern dan banyak mencetak para kaum intelektual bangsa sebagai tonggak tolak ukur sejauh mana kapasitas suatu bangsa dapat dikatakan maju dalam bidang Pendidikan. Haram hukumnya jika mengotori wajah Pendidikan yang suci menggunakan kepentingan-kepentingan segelintir aktor politik yang memanfaatkan basis massa mahasiswa sebagai lumbung suara supaya menang dalam pemilihan umum.
Menurut saya, Kampus sebagai salah satu sarana wadah pendidikan dalam melahirkan karakter pemimpin bangsa dan para pemikir kritis yang diharapkan dapat memberikan sebuah kesejahteraan dan kemajuan bagi masyarakat dan negara nantinya.
Dunia Kampus hakikatnya bukan sebagai tempat untuk ajang kampanye calon presiden, calon gubernur, calon walikota, calon bupati, calon anggota legislatif serta peserta pemilu lainnya, karena kampanye itu sifatnya satu arah yang artinya tidak ada pertukaran argumentasi logis.
Padahal Kampus merupakan tempat untuk melakukan dan menguji sebuah batu argumentasi yang berasal dari ide gagasan ilmiah dari seorang individu yang dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai sumber daya manusia yang terdidik.
Menurut hemat saya bagaimanapun juga terhadap putusan MK yang penuh kontroversi, saya mengacu pada Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur artinya bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Sehingga sebagai bentuk penghormatan terhadap putusan MK, jadi silahkan saja peserta pemilu baik para calon eksekutif maupun calon legislatif jika ingin masuk ke wilayah kampus di hadapan mahasiswa.
Namun dengan beberapa catatan yakni pertama sifatnya adu argumentasi data ilmiah dua arah dengan tujuan edukatif antara pemilih dengan yang akan dipilih bukan kampanye satu arah yang bertujuan provokatif. Kedua tidak membawa atribut-atribut politik praktis dalam bentuk apapun. Dan terakhir haram hukumnya ada ajakan terstruktur dari peserta pemilu untuk memilih salah satu peserta pemilu di lingkungan kampus.
Sehingga apabila ketiga hal diatas dicederai, maka barang tentu akan menimbulkan sebuah konflik horizontal yang berkepanjangan antara partisipan satu dengan partisipan lainnya. Selain itu Konsekuensi lainnya adalah Netralitas Marwah Pendidikan dipertaruhkan bahkan bisa terancam jika putusan MK tersebut disalahgunakan oknum peserta pemilu dalam berkampanye di lingkungan Pendidikan secara tidak bertanggung jawab.
Bangsa ini adalah bangsa yang besar sudah sepantasnya menjunjung tinggi etika kemudian disusul dengan menjunjung tinggi hukum-hukum yang berlaku demi mewujudkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Banyak sekali pro kontra mengenai putusan MK ini, ada yang sudah menyatakan sesuai koridor dan ada pula yang mengatakan putusan MK ini sangat merugikan Masyarakat pada umumnya, dan mahasiswa secara khusus.
Akan tetapi bagaimanapun juga semua pihak harus tetap memberikan apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi. Tentu mengenai putusan ini harus diimbangi dengan aturan-aturan turunan yang harus membackup segala kekurangan-kekurangan yang belum diatur secara detail dan terperinci.
Oleh karenanya terakhir saya menyarankan baik kepada KPU, BAWASLU, dan Kemendikbud Ristek agar membuat sesegera mungkin sebuah regulasi turunan khusus secara detail, jelas, dan lengkap dengan tujuan menjaga Netralitas Marwah Pendidikan.
Jangan sampai politik praktis mengotori dan merusak kesucian daripada hakikat perguruan tinggi dan/atau sekolah-sekolah yang menyelenggarakan Pendidikan yang sedang menyiapkan tunas-tunas bangsa untuk menjadi roda penggerak bagi bangsa dan negara Indonesia.
_____
*Kautsar Mayda Jovialy S.H merupakan alumni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya (Kalimantan Tengah) 2022 yang pernah menjabat sebagai Presiden BEM FH UPR 2021/2022 serta aktif dalam organisasi HMI.