Terima Kasih Pak Nadiem, Anda Telah Mengurangi Sekian Persen Beban Hidup Kami

  • Bagikan
Terima Kasih Pak Nadiem, Anda Telah Mengurangi Sekian Persen Beban Hidup Kami
Foto: Nadiem Makarim saat mengisi Merdeka Belajar Episode ke-26 (instagram/@nadiemmakarim)

SekitarJatim.com – Saya sangat senang mendengar notifikasi berita yang masuk di ponsel saya beberapa hari belakangan. Pak Mendikbudristek akhirnya menghapuskan syarat publikasi jurnal bagi lulusan S2 dan S3 di Indonesia. Betapa tidak senang, sebab inilah momok yang sangat memberatkan bagi mahasiswa tingkat magister ataupun doktoral.

Pada awalnya saya senang karena alasan dan kendala pribadi. Ya, sejak saya lulus S2 hingga hampir satu tahun gelar itu masih hangat menempel pada nama, satu artikel jurnal pun belum bisa saya tembus publikasinya. Kesalnya bukan main, sejak tahun 2021 hingga 2023, satu dari tujuh artikel yang saya ajukan belum diterima pinangannya oleh satupun jurnal di tanah air. Bahkan satu jurnal yang saya tulis dari hasil ringkasan tesis telah ditolak oleh tujuh jurnal yang berbeda.

Ada-ada saja alasannya, entah apa memang sejelek itu artikel ilmiah yang saya tulis atau mungkin reviewernya yang malas mengoreksi atau mungkin saya hanya pemain baru di dunia publikasi sehingga masih harus “diospek” terlebih dahulu, saya tak tahu. Padahal sudah benar-benar saya perhatikan aturan penulisan serta lingkup kajian dari jurnal yang saya kirim, tapi tetap tulisan saya tidak laku.

Kendala seperti itu rasanya tidak hanya saya yang mengalami, tapi banyak dari teman seperjuangan dan senasib yang juga harus terpaksa menerima jatuh karena satu batu sandung yang sama, yakni publikasi jurnal. Hampir semua teman sejawat yang menjalani tingkat pendidikan S2 mengeluhkan kewajiban publikasi tersebut. Keluhan yang saya tangkap pun rasanya sangat masuk akal dan bukan karena alasan malas dan tidak mau berjuang. Bagaimana tidak, kelulusan kita ditentukan oleh pihak-pihak yang kita sendiri tidak tahu siapa. Bukan dosen, juga bukan guru kita, tapi di tangan mereka dokumen kelulusan kita dipertaruhkan.

BACA JUGA:  Ambulan dan Dirimu

Saya tidak sedang ingin mengumpat kepada para pengelola jurnal. Memang, tugas dan hak mereka adalah untuk menerima dan menolak artikel sesuai ketentuan yang telah mereka tetapkan. Namun yang disayangkan adalah mengapa kemudian hal itu harus menjadi salah satu syarat kelulusan? Padahal tidak masuk akal juga bila kemudian publikasi jurnal menjadi penanda atas kompetensi seseorang. Tapi ya sudahlah, itu sudah menjadi aturan lama. Sukur, alhamdulillah, puji Tuhan, ada aturan baru yang menghilangkan persyaratan tersebut.

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang menghapuskan aturan lama patut diacungi jempol. Top, empat jempol, kalau perlu seratus akan saya acungkan. Bayangkan saja kalau aturan lama masih berlaku, betapa sengsaranya para mahasiswa pascasarjana. Untuk tembus satu artikel jurnal bereputasi sulitnya bukan main. Semakin tinggi tingkat jurnalnya semakin rendah pula harapan diterimanya artikel. Belum lagi biaya yang harus dirogoh untuk dana publikasi. Semakin tinggi rank jurnalnya, tentu semakin mahal biayanya.

Apalagi kalau sudah tidak menemukan cara, maka jurnal predator pun jadi solusinya. Jelas, selain menambah beban tanggungan kelulusan itu juga akan menambah beban pengeluaran mahasiswa pascasarjana. Sehingga sangat tepat peraturan itu segera diimplementasikan oleh kampus-kampus di Indonesia.

Tapi tunggu, jangan senang dulu kata Nadiem, itu hanya standar penjaminan mutu versi pemerintah, perkara bagaimana kebijakan yang akan diambil dan diterapkan tetap ada di tangan lembaga kampus. Waduh, mau ngeprank apa bagaimana pak? Gak bahaya tha? Ya jelas bahaya. Pasti akan ada kampus-kampus yang masih memberlakukan publikasi jurnal kepada mahasiswa dengan alasan peningkatan mutu dan kualitas lembaga.

BACA JUGA:  Mengenal CLS (Critical Legal Studies Movement) Lebih Dekat

Apalagi dengan adanya tren world class university, para kampus tentu akan berlomba-lomba unjuk gigi dengan cara mendorong (untuk tidak mengatakan memaksa) para mahasiswa untuk mempublikasikan artikel pada jurnal-jurnal bereputasi nasional ataupun internasional. Semakin banyak publikasi ilmiah pasti akan menjadi baret kebanggaan tersendiri bagi kampus yang akan dipamerkan kepada khalayak umum. Lembaga-lembaga survei peringkat kampus pun pasti menjadikan itu sebagai penilaian untuk membuat urutan rangking yang menjadikan kontestasi lembaga perguruan tinggi hanya mengejar peringkat daripada esensi pengabdian dan kontribusinya pada masyarakat. Jelas bahaya.

Saya tidak menampik bahwa adanya publikasi ilmiah pada jurnal bereputasi memberi dampak serta kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang juga perlu diperhatikan adalah tidakkah perkembangan ilmu pengetahuan itu juga berefek pada meningginya disparitas atau kesenjangan antara ilmu pengetahuan dengan realita sosial? Lembaga kampus melalui banyaknya prestasi publikasi jurnal terlihat menjadi semakin megah namun hanya bagi segelintir pihak saja.

Mungkin aspek itu yang sekarang perlu diperhatikan setelah aturan lama ini digantikan. Saatnya pak menteri dan semua jajaran para akademisi merefleksikan ulang pembangunan ilmu pengetahuan agar juga dapat menyejahterakan kalangan-kalangan non-akademisi.

Ya begitulah kesenangan saya mendengar gebrakan Pak Nadiem. Bagus pak, saya dukung, top. Saya rayakan kesenangan ini dengan menulis artikel, meski bukan artikel ilmiah tapi semoga bisa tepat sasaran dan berkontribusi pada khalayak umum terutama para teman-teman mahasiswa pascasarjana yang senasib dan seperjuangan. Sekali lagi, terima kasih Pak Nadiem, Anda telah mengurangi sekian persen beban hidup kami. Sisanya tinggal berdoa, semoga kampus bisa sehati dan sepemikiran.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *