Ketika Puncak Perayaaan Kemerdekaan ke-79 Tahun adalah Malapetaka Konstitusi dan Demokrasi

  • Bagikan
Ketika puncak perayaaan kemerdekaan 79 tahun adalah malapetaka konstitusi dan demokrasi.
Foto: Ilustrasi.

SekitarJatim.com – Bendera merah-putih masih berkibar di jalan-jalan desa dan kota. Semangat 45′ masih terpancar dalam senyum para warga, mereka-mereka yang saling bahu-membahu menghias sekitaran tempat tinggalnya dengan nuansa kemerdekaan, atau bocah-bocah kecil dengan riang gembira mengikuti lomba-lomba. Itu semua adalah gambaran sederhana bagaimana masyarakat mencintai tanah air mereka.

Tetapi, itu semua ternyata tak cukup untuk menyadarkan pemerintah, atau pemangku kekuasaan, bahwa negara ini layak dicintai. Mengapa?

Dalam arus perjalanan tahun ini, Indonesia mengalami arus dinamika politik dan demokrasi yang cukup pelik. Setelah melewati pergantian kekuasaan melalui mekanisme yang demokratis, yakni Pemilihan Presiden (Pemilihan Presiden), dan Pemilihan Umum (Pemilu), masyarakat kembali dihidangkan dengan mekanisme demokrasi yang sebetulnya baru, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak.

Dimana Pilkada dilakukan secara bersamaan, berbarengan, di tiap daerah-daerah, yang sebelumnya dilakukan secara terpisah atau berbeda. Hal ini menurut pemerintah merupakan sebuah upaya dalam menghemat anggaran negara. Padahal, seperti yang kita ketahui, di lain sisi, pemerintah telah mengalokasikan anggaran negara untuk pembangunan ibukota negara yang baru.

Tetapi, ini bukan point utamanya, yang jadi pokok pembahasan kali ini adalah intrik yang terjadi sebelum Pilkada akan dilaksanakan. Dimana intrik tersebut justru terjadi dalam lembaga negara yang mendapat julukan “guardian of the constitution”. Berbeda dengan kompetisi sebelumnya, yakni Pilpres dan Pemilu, dimana pada saat itu Mahkamah Konstitusi menjadi “biang keladi” akan intensitas politik. Kali, ini pada perhelatan Pilkada, Mahkamah Konstitusi justru bertindak selayaknya julukannya yang lain, “guardian of democracy”. 

Marwah Mahkamah Konstitusi seolah telah pulih kembali sebagai lembaga kebanggaan era reformasi, dengan ketukkan palu Yang Mulia Hakim Konstitusi melalui putusan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024, dimana putusan ini memberi kesempatan bagi siapapun yang ingin maju dalam kontestasi Pilkada, tanpa perlu berkoalisi dengan partai-partai agar melebihi ambang batas kursi DPRD. Tentu, hal ini merupakan progresifitas dinamika demokrasi, ketika masyarakat bisa memilih pemimpinnya tanpa perlu disetir oleh kepentingan partai politik.

BACA JUGA:  Mantra Majnun (Resensi Buku Layla & Majnun, Kisah Cinta Klasik dari Negeri Timur, Ditulis Oleh Nizami 2009)

Apalagi, putusan tersebut terindikasi akan memengaruhi munculnya figur politik baru, sehingga ide politik semakin majemuk. Tetapi, hal ini justru seakan menjadi “ancaman” bagi DPR, karena ambang batas pencalonan yang sebelumnya bergantung pada jumlah kursi parlemen, kini mulai menurun. Sehingga, para calon kepala daerah cukup di dukung partai politik yang kursi parlemennya mencukupi ambang batas sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tadi. 

Maka, tak mengherankan apabila Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) justru menganulir putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dengan melakukan revisi UU Pilkada, sekaligus lebih memilih putusan Mahkamah Agung, terkait ambang batas umur pencalonan, yakni saat dilantik, bukan saat pencalonan. Lantas apakah yang sebenarnya terjadi dalam dinamika politik menuju Pilkada ini?

Respon cepat Baleg DPR yang melakukan revisi UU Pilkada sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, justru menimbulkan respon “curiga” masyarakat terhadap manuver politik yang terjadi di Senayan. Hal demikian merupakan respon yang wajar, dan memang seharusnya terjadi, sebab putusan Mahkamah Konstitusi bersifat “final and binding”, dimana kekuatan hukum putusan Mahkamah Konstitusi setara dengan Undang-Undang, walaupun tidak terdapat dalam hierarki Perundang-Undangan, sebab Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif, sedangkan hierarki Perundang-Undangan hanya memuat lembaga eksekutif dan legislatif. 

Memang beginilah teorinya yang dikemukakan oleh Hans Kelsen itu, yang telah diadopsi oleh sebagian besar negara, sebagai sistem yang padu sesuai dengan konsep negara hukum. Dimana lembaga yudikatif (baca: peradilan), merupakan lembaga yang netral, tak boleh di intervensi oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, sesuai dengan konsep “Trias Politica”. Kemudian, dikenal sistem “Check and Balance”, dimana diantara ketiga lembaga dalam konsep “Trias Politica” tersebut, saling menyeimbangkan dan berinteraksi, dan interaksi diantara ketiganya harus melalui sistem hukum, bukan politik. 

BACA JUGA:  Sosialisasi BOSP, Kadis Dikbud Pamekasan Ingatkan Pengelolaan sesuai Aturan

Hal inilah yang merupakan bagaimana hukum menjaga konstitusi negara dalam koridor demokrasi. Akan tetapi, koalisi yang gemuk di DPR di penghujung peralihan kekuasaan, nampaknya benar-benar tak rela demokrasi berjalan dengan semestinya. Tindakan DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi secara gamblang, sehari setelah putusan diketuk palu, merupakan puncak gunung es bagaimana berjalannya demokrasi dalam negara yang merayakan 79 tahun kemerdekaan. 

Bagaimana mungkin revisi UU Pilkada dilakukan setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan angin segar dalam demokrasi, justru dianulir oleh Baleg DPR, dan Baleg DPR lebih memilih putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Padahal peradilan pemilu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. 

Maka, wajar saja masyarakat marah terhadap “kesewenang-wenangan” DPR sebagai lembaga legislatif, lembaga perwakilan rakyat, yang terkesan “sak enak e dewe”, terhadap “legal system” yang seharusnya berjalan dengan semestinya. Sebab, menurut dua profesor dari Harvard, yakni Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam bukunya ” How Democracies Die”, bahwa kematian demokrasi ditandai oleh dua faktor, yakni kudeta dan dilenyapkan secara perlahan-lahan, dimana faktor kedua ini mengacu pada ketika lembaga peradilan mengalami intervensi politik, dilemahkan netralitasnya. 

Sebab, lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi adalah termasuk pelindung demokrasi, “guardian of democracy”. Maka, tak ada jalan lain, selain pemerintah untuk “tak main gila” terhadap konstitusi negara dan demokrasi. Sebab, seperti yang sudah-sudah, masyarakat akan menempuh jalannya sendiri. Menegakkan keadilan seperti bendera merah-putih yang berkibar di jalanan itu.***


***Klik tautan Google News dan dapatkan berita terkini serta informasi bermanfaat lainnya di perangkat Anda.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *