Teras eSJe – Andai saya bukanlah seorang anak tunggal dan cucu pertama, pikiran tentang pernikahan adalah sesuatu yang jauh dari benak saya. Jika saya tidak akan menikah, saya akan pergi merantau jauh ke Benua Eropa, mengurung diri di sebuah flat kecil dengan tumpukan buku-buku, memperdalam ide-ide dan mendengarkan simponi dari Mozart dan Beethoven serta lagu-lagu dari Kiai Kanjeng, sepanjang waktu. Atau, saya akan beranjak mengelilingi seluruh sudut-sudut pelosok di Indonesia, memahami penderitaan orang-orang di negara yang indah, dan menjabat tangan mereka. Setelahnya, saya akan mendirikan sebuah partai dengan keadilan sebagai asas tunggal. Begitulah kira-kira, persis seperti yang dilakukan oleh Che Guevara, seorang revolusioner dari Amerika Latin, yang saya ketahui semenjak lulus SMA.
Saya tersenyum dalam lamunan itu, barangkali karena cukup menggelikan. Lamunan itu seketika buyar setelah seorang kondektur bus menyuruh saya agar bersiap-siap turun dengan hati-hati dan menjaga langkah. Tepat pukul 21.45 WIB, saya tiba di pegadaian kota Bangil, sebagai tempat pemberhentian saya. Kemudian, saya memandangi sekeliling, hanya lalu-lalang kendaraan, selebihnya sunyi, sepi, dan hening dari cahaya rembulan yang sedang menengadah. Beberapa jarak dari saya berada, terdapat cafe dan muda-mudi yang sedang menikmati malam dengan bercengkrama. Tetapi, saya lebih memilih melangkah pada gerobak nasi goreng untuk memenuhi kebutuhan primer saya. Kemudian, saya beranjak pulang. Sesampainya di rumah, saya bergegas mandi dan beristirahat karena lelah.
Esok harinya, saya menjalani rutinitas seperti biasanya saat berada di rumah. Sarapan dan menyeduh kopi panas, lalu menyapa beberapa tetangga dan saudara yang saya temui hari itu. Sejumlah perbincangan tentang kabar dan lain hal. Tetapi, terdapat sesuatu yang mengusik benak saya, terutama ketika salah seorang Pakde saya, bicara dengan cara satir bahwa jika saya telah menikah, saya tak perlu repot-repot membuat kopi sendiri. Atau, ketika seorang Pakdhe yang lain memberi nasehat pada saya, bahwa semakin saya cepat menikah, saya tak akan mengalami kesusahan pada hari tua nanti ketika saya menafkahi anak saya. ada benarnya juga perkataannya, pikir saya waktu itu.
Tetapi, setelah mempunyai waktu sendiri untuk merenung dalam kamar, dalam kebimbangan, saya mencoba untuk bertanya pada diri sendiri, apakah benar saya harus segera menikah? Memang, di lingkungan rumah saya, hanya saya dan satu atau dua orang lain yang belum menikah. Tentu saya tak mengerti mengapa mereka belum menikah, walau umur dan pekerjaan mereka lebih siap daripada saya. Sebelumnya, beberapa kali pernikahan menjadi perbincangan yang cukup menarik bagi saya dan beberapa teman dalam suatu percakapan. Walau pada awalnya, saya agak terkejut ketika menyadari teman-teman yang sebaya dengan saya, ternyata mempunyai pertimbangan tentang pernikahan. Bahkan, saya pernah mengobrol dengan seorang teman, dari jam 9 malam sampai jam 2 pagi, hanya membicarakan tentang pernikahan. Rupa-rupanya, ia memiliki keresahan yang sama.
Sebetulnya, saya pernah mempunyai harapan tentang pernikahan dengan beberapa perempuan yang saya kenal, tetapi hal itu telah tamat ketika mereka semua lebih memilih menikah dengan pria lain yang lebih siap berkomitmen dan mapan dibanding dengan saya. Tentu, saya menghargai pilihan mereka, situasi tersebut juga menenangkan saya, sebagai pertanda bahwa saya tidak berjodoh dengan mereka. Keengganan itu bukan disebabkan oleh itu, tetapi terutama ketidaksiapan saya bahwa dalam pernikahan, kita harus membagi waktu yang semula setiap hari secara penuh adalah milik kita, tetapi dalam pernikahan, 24 jam waktu yang kita miliki akan dibagi dengan urusan orang lain yang menjadi pasangan kita, bahkan dengan anak kita. Ini bukanlah hal mudah. Apalagi saya telah belajar banyak tentang prinsip keadilan, dan saya tak mau berbuat zalim dengan orang yang mau menjadikan saya imam bagi dunia dan akhiratnya.
Saya akan merasa berdosa sekali jika mengecewakan orang itu. Saya paham betul bahwa pernikahan tak melulu perihal kebahagiaan saja, ada hal lain yang lebih serius dari itu. Bagaimana bila orang yang menikah dengan saya adalah orang yang terlalu baik bagi saya? Tentu, pertama-tama saya akan bersyukur. Namun, selebihnya saya akan merasa sangat malu, karena orang seperti itu akan menerima saya dengan lapang dada. Selebihnya, kebingungan ini mungkin akan terus berlanjut sampai saya menemukan seorang yang tepat untuk saya sebut sebagai jodoh. Walaupun, saya benar-benar tak tahu apa itu jodoh. Tetapi, jika benar jodoh adalah suatu cerminan dari diri kita, maka sudah jelas bahwa saya hanya perlu menjadi seseorang yang benar-benar baik, apabila menginginkan jodoh yang baik juga.
Dengan mendekatnya waktu lebaran, pertanyaan menyebalkan itu akan kembali terdengar (kapan nikah?). Meskipun, dalam lingkungan saya, pertanyaan itu telah berubah bentuk menjadi kalimat perintah. Maka, untuk kali ini, bagi siapapun yang mengalami nasib yang serupa dengan saya. Saya hanya ingin berpesan bahwa, “Tegakkanlah kepala anda, jangan pernah pesimis dengan keadaan, kebahagiaan atau hal-hal lain yang melekat pada anda, adalah tanggung jawab anda sendiri. Carilah pasangan yang berupaya untuk saling membahagiakan. Sebab, pernikahan yang tak dibaluti dengan kebersamaan, tak ubahnya perasaan hening dan sunyi daripada menjadi seorang lajang.”