Perempuan di Ujung Bulan

  • Bagikan
Perempuan di Ujung Bulan

Teras eSJe – “Menikahlah denganku,” barangkali semestinya kalimat itu yang kukatakan saat ada kesempatan. Jika berhasil, seorang pria yang sulit diatur dan berantakan, akan menikah dengan perempuan pengatur dan penuh kasih. Seperti kata Socrates, bahwa jika menikah dan menemukan istri yang baik, ditemukan pula kebahagiaan, dan jika tidak, seorang pria akan menjadi filsuf. Namun, bila menikah denganmu, aku menemukan keduanya. Sebab, tiap engkau mengomel, aku akan merenung, mengapa aku mencintai perempuan sepertimu. Sangat mencintaimu. Dan bagi telingaku, omelanmu adalah nyanyian dengan nada yang sumbang. Seandainya itu terjadi, maka kita akan selalu berdansa di sore hari.

Kemudian kita duduk di teras rumah sepanjang malam, sibuk menghitung bintang-bintang. Lalu, aku akan menulis puisi untukmu setiap pagi. Saat itu menjadi kenyataan, masakanmu adalah yang terenak bagiku, walau mungkin aku sedikit berbohong soal itu. Kita menghitung waktu dengan berpegangan tangan. Tangan yang engkau genggam setiap waktu. Tangan yang akan membantu meraih mimpi-mimpimu itu. Pundakku, akan menjadi tempat ternyaman bagimu. Sedangkan, keningmu adalah tempat terkhusyu’ bagi bibirku. Aku tak lagi sendiri, begitu pula denganmu. Kita telah mengalahkan sunyi dengan saling bersama. Sunyi yang menyebalkan dan kadang-kadang datang tiba-tiba. Kita telah mengusirnya, sayang.

Masih ingatkah engkau dengan rayuanku, bahwa kukatakan padamu “engkau seperti tafsiran dari cahaya mentari yang bersinar di puncak gunung kala pagi hari.” Sementara itu, engkau malah mengatakan padaku bahwa aku adalah seorang pembual, tak semestinya diriku mengatakan itu, sebab engkau tahu bahwa diriku tak mungkin bangun pagi. Engkau, memang selalu lucu, sayang. Tapi bukan itu penyebab mengapa jiwaku menaruh rasa cintanya secara utuh kepadamu. Kerlipku, cinta adalah ketika tak ada lagi keinginan untuk mendua. Dan saat memandang bola matamu, tak ada alasan melakukan itu.

BACA JUGA:  RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan Resmikan Gedung IPJVT, Layanan Kesehatan Jantung dan Stroke Tidak Perlu ke Luar Daerah

Masih ingatkah dirimu saat kutulis pesan bahwa “aku tak tahu cara bagaimana mengeja kecantikan, tetapi saat melihatmu, sepertinya ejaanku telah benar.” Katamu, aku terlalu berlebihan. Padahal, aku hanya menulis apa yang memang kuanggap benar. Kecantikanmu itu, selalu menjadi misteri yang tak pernah kumengerti. Manisku, aku masih mengingat pesan-pesanmu kala itu, saat engkau mengingatkan padaku bahwa aku harus banyak-banyak minum air putih dan mulai bangun pagi, aku tahu bila engkau mencintaiku, ketika engkau mengingatkan padaku bahwa aku harus mengurangi waktu begadang dan merokok, aku tahu jika engkau mencintaiku, dan kala engkau menginginkan aku untuk berjanji agar tak telat makan lagi, aku mengerti mengapa engkau mencintaiku.

Sayangnya, pikun adalah gejala pada orang yang menua, sedangkan saat muda, kita mengingat segalanya, mengapa engkau mengukur kedalaman perasaanku dengan waktu, padahal kita tak pernah merasa cukup dengan itu, padahal dengan cinta, segalanya terasa cukup, mungkin jika aku tak mengenalmu, mungkin pula aku merasa menyesal dan tak begitu mengenal bagaimana perihal cinta. Daraku, jika cinta adalah perihal waktu, maka kita berdiri di dua sisi yang berbeda. Pun, cinta bukan perihal tentang keraguan, ia adalah bibit jagung, yang tumbuh dari air yang jernih dan matahari yang hangat, kemudian dirawat dengan setulus kasih seorang petani. Berdosalah aku, jika membiarkan dirimu menetap dalam ruang ragu yang sunyi itu.

BACA JUGA:  Jalan Sunyi Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Nihilisme

Ketika hujan telah usai, tak ada lagi pelangi bagiku, yang ada hanyalah aku dan kau saat air masih menggenang menjadi kenangan, ketika tak ada lagi kau, tak ada pula hujan yang turun dengan cinta. Tak ada lagi kata seperti “mungkin, barangkali, andai, bila,” dalam bayang-bayang yang selama ini kita inginkan. Perkataanmu tentangku bahwa aku terdengar seperti seorang pembohong tampaknya adalah benar. Seandainya aku menepati janji, mungkin kita bukanlah dua orang yang akan terlihat asing. Melainkan suatu kenyataan dari dua nama yang tertulis di lauhul mahfudz itu. Namun, sepertinya waktu tak mengizinkan untuk terjadi. Tak mungkin aku membiarkanmu dalam rasa tunggu yang kian tak pasti itu.

Seandainya engkau memahami, bahwa manusia selalu tak berdaya oleh waktu. Aku tahu, engkau merindu dalam waktu tunggu. Aku tahu engkau mencintaiku, walau engkau menikahinya. Memang, kadang-kadang dunia bekerja secara kebetulan. Barangkali, cinta pun berasal dari kebetulan. Kebetulan yang menyenangkan. Kebetulan yang mencatut namamu dari keberadaanku. Kebetulan yang kemudian pernah menjadi suatu mimpi, dan tetap berakhir menjadi mimpi. Aku termenung dalam segala hal yang telah terjadi. Tentang penyesalan yang tak memiliki arti. Dalam putaran waktu, cahaya senja yang tak lagi sama, aromamu kian samar, dan dimanakah keberadaan aroma yang serupa? atau, seperti kata-katamu yang lalu, perihal aroma yang baru. Cinta yang baru, dan apakah aku memiliki keberanian dalam melangkah akan segala kemungkinan yang baru. Engkau, perempuan di ujung bulan itu. Mustahil aku meraihmu, karena aku selalu berpijak di bumi.**

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *